BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Salah
satu masalah aktual dalam dunia pendidikan di Indonesia dewasa ini adalah
bagaimana meningkatkan mutu pembelajaran yang dilakukan oleh guru agar dapat meningkatkan hasil belajar siswa secara optimal. Hasil pembelajaran dalam
dunia pendidikan di Indonesia di
sinyalir masih belum menggembirakan. Kebanyakan siswa mengalami kesulitan dalam
mengaplikasikan pengetahuan dalam
kehidupan nyata sehari-hari. Hal ini lebih disebabkan adanya kecenderungan
pembelajaran dikelas yang kurang adanya upaya guru untuk mengaitkan materi pelajaran
dengan kehidupan sehari-hari. Dalam pembelajarannya
guru lebih banyak memaparkan fakta,
pengetahuan dan hukum, kemudian
dihafalkan, bukan mengaitkannya dengan pengalaman empiris dalam kehidupan
nyata.
Mengajarkan
matematika sehingga siswa menguasai kompetensi yang telah ditetapkan merupakan
hal yang tidak mudah, karena fakta menunjukkan bahwa para siswa mengalami
kesulitan dalam mempelajari matematika. Salah satu yang dimungkinkan menjadi
penyebabnya adalah karakteristik dari matematika itu sendiri yaitu merupakan
pengetahuan abstrak yang didalamnya mengandung hubungan-hubungan dan struktur
yang megggunakan
simbol-simbol untuk memanipulasi aturan yang sudah ditetapkan. Oleh karena itu guru dituntut untuk mampu
memberikan konteks pada konsep-konsep matematika. Dengan memberi konteks pada
konsep-konsep matematika maka konsep-konsep tersebut tidak dirasakan lagi oleh
siswa sebagai sesuatu yang abstrak, tetapi sesuatu yang bersifat aplikatif dan
ide-ide dapat diperoleh melalui interaksi dengan teman atau guru.
Interaksi dapat dilakukan dalam bentuk diskusi kelompok atau diskusi kelas.
Dengan demikian siswa akan lebih senang hati mempelajari matematika, mereka
menyadari bahwa kompetensi yang telah ditetapkan di dalam kurikulum harus
dikuasai karena sangat bermanfaat dalam kehidupan nyata sehari-hari. Hal ini
juga menimbulkan motivasi yang tinggi pada diri siswa sehingga diharapkan hasil
belajar dapat meningkat.
Hasil
belajar matematika siswa kelas … tahun …
untuk mata pelajaran matematika baik aspek afektif maupun kognitif masih
rendah. Untuk aspek afektif sebagian siswa masih beranggapan bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang sulit, sehingga mereka menghindar dari mata pelajaran
matematika dengan memilih jurusan IPS sehingga sekolah kesulitan mencari siswa
yang berminat ke jurusan IPA, motivasi belajar siwa masih rendah, dalam
pembelajaran matematika siswa lebih suka pasif menunggu penyajian materi dari
guru daripada berusaha mencari dan menemukan sendiri pengetahuan yang mereka
butuhkan. Siswa kurang dapat menghubungkan materi baru dengan materi yang telah
dipelajari, siswa enggan bertanya meskipun belum memahami materi yang
disampaikan guru, siswa lebih suka bekerja sendiri daripada bekerja secara
kelompok. Siswa enggan mempresentasikan hasil pekerjaannya sebelum ditunjuk
oleh guru . masih banyak siswa yang
tidak mengerjakan tugas /PR dengan alasan tidak biasa mengerjakan dan tidak mau berusaha menanyakan
kepada orang lain yang biasa mengerjakan. Siswa kurang dapat menerapkan
pengetahuan yang diperoleh untuk memecahkan masalah dalam kehidupan nyata
sehari-hari. Kondisi sikap afektif siswa tersebut mengakibatkan rendahnya hasil
belajar siswa aspek kognitif. Salah satu
fakta dapat dilihat dalam laporan hasil analisis ulangan mid semester gasal
yang diselenggarakan pada tanggal …. dan ulangan umum semester yang
diselenggarakan pada tanggal … sebagai berikut:
Tabel 1
Hasil
ulangan Mid Semester Gasal dan Ulangan Umum Semester Gasal kelas … mata pelajaran
matematika tahun pelajaran ….
No
|
Jenis Ulangan
|
No SK
|
Nilai
|
||
Rata-rata
|
Tertinggi
|
Terendah
|
|||
1
|
Mid Semester
|
1 dan 2
|
38,05
|
68,00
|
21,00
|
2
|
Semester
|
1,2,3
|
44,76
|
92,00
|
22,00
|
SK 1: memecahkan masalah yang berkaitan
dengan bentuk pangkat, akar, dan logaritma.
SK2: memecahkan maslah yang berkaitan
dengan fungsi, persamaan dan fungsi kuadrat, serta pertidaksamaan kuadrat
SK3 : memecahkan masalah yang berkaitan
dengan system persamaan linear dan pertidaksamaan satu variable (Sumber: Dokumen
…………)
Nilai
matematika pada Ebtanas juga belum memuaskan. Dari daftar hasil ujian nasional
tahun … sd. … diperoleh rata-rata nilai ….. rata=rata nilai terendah … dan
tertingiii …. (sumnber ; Dokumen ………..).
Berdasarkan
pengalaman, rendahnya hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika baik
aspek afektif maupun aspek kognitif lebih disebabkan karena rendahnya mutu
pembelajaran. Proses pembelajaran matematika umumnya hanya menekankan pada
pencapaian target kurikulum dan penyampaian tekstual semata, guru jarang
memberikan konteks untuk menghubungkan materi pelajaran dengan masalah nyata
yang sering dihadapi siswa sehingga siswa kurang mampu memecahkan masalah
matematika dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu guru juga jarang
menghubungkan materi yang baru dengan materi yang telah dipelajari. Dalam proses pembelajaran masih sering
dijumpai adanya fenomena kurangnya keterlibatan siswa. Dominasi guru dalam
proses pemnbelajaran menyebabkan kecenderungan siswa lebih banyak menunggu
penyajian guru dari pada mencari dan menemukan sendiri pengetahuan dan
keterampilan yang mereka butuhkan. Kondisi seperti ini tidak akan
menumbuhkembangkan potensi siswa seperti yang diharapkan sehingga hasil belajar
siswa tidak optimal.
Meyikapi
rendahnya mutu pembelajaran yang berakibat rendahnya hasil belajar siswa kelas
…. Diatas maka perlu adanya perubahan pola pikir bagi pengelola pendidikan
terutama guru sebagai ujung tombak pelaksanaan kurikulum yang langsung berhadapan dengan siswa.
Perubahan pola pikir tersebut antara lain terdiri dari peroubahan pola
pembelajaran dan perubahan teknik penilaian.
Pola
pikir pembelajaran yang berpusat pada guru sebagai sumber utama pengetahuan dan
ceramah menjadi pilihan utama metode pembelajaran, menjadikan siswa cenderung
pasif. Ketika pembelajaran satu arah maka yang akan terjadi adalah sebatas
transfer materi yang menjadikan siswa hanya sekedar menghafal fakta komnsep,
atau kaidah yang siap untuk diambil dan
diingat. Siswa harus mengkonstruk dan menemukan sendiri pengetahuan itu kemudian
memberi makna melalui pengalaman nyata. Dengan kata lain pembelajaran harus
dikemas menjadi proses mengkonstruk dan menemukan dan bukan sekedar menerima
pengetahuan. Dalam proses pembelajaran siswa membangun atau menemukan semdiri
pengetahuan mereka melalui keterlibatan secara aktif. Selain pembelajaran harus
berpusat pada siswa , pola pikir pembelajaran juga perlu diubah dari sekedar
siswa memahami konsep dan prinsip keilmuan menjadi siswa dapat menerapkan
keilmuan yang mereka peroleh untuk memecahkan masalah dalam kehidupan
sehari-hari.
Belajar
bermakna adalah pada saat siswa merasakan keterlibatan secara aktif dalam
proses pembelajaran. Siswa merasakan bahwa belajar adalah sesuatu yang
menyenangkan dan bermanfaat untuk kehidupan kelak sehingga timbul kesadaran
untuk berupaya mencapainya. Hal tersebut dapat terwujud manakala dalam proses
pembelajaran ada sinkronisasi antara terori yang dipelajari dengan pemecahan
masalah kehidupan yang ia alami.
Pendekatan
pembelajaran kontekstual, merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang
sesuai dengan pola pikir tersebut. Pendekatan kontekstual adalah pendekatan
pembelajaran yang mengutamakan pembelajaran yang bermakna bagi siswa.
Pemahaman, relevansi pribadi dan penilaian seorang siswa yang melekat pada
materi yang dipelajari membuat siswa dirasakan sebagai suatu kebutuhan yang
sesuai dengan kehidupan. Tanpa menekankan pada penemuan makna bagi siswa, maka
akan banyak siswa yang akan menjauhi pelajaran yang hanya mengutamakan isi
materi, sebab mereka melihat tidak sesuai dengan kehidupannya. Pendekatan
kontekstual juga mengutamakan pada aplikasi pengetahuan. Penerapan pengetahuan
juga merupakan strategi yang banyak digunakan dalam pendekatan kontekstual,
dengan tujan membantu siswa menemukan makna dalam belajarnya. Biasanya siswa
jarang sekali yang tertarik pada mata pelajaran yang abstrak yang tidak
berhubungan dengan dunia nyata. Siswa diminta untuk berpikrir kritis dan
kreatif dalam pengumpulan data , pemahaman terhadap isu-isu atau memecahkan
masalah dengan tujuan agar siswa mudah mengingat apa yang dipelajari sehingga
hasil belajar meningkat.
Peneliti
sebagai guru dan kolaborator telah berupaya mencoba menerapkan pendekatan
kontekstual dalam proses pembelajaran matematika , namun dalam pelaksanaannya
belum optimal sehingga proses pembelajaran belum efektif dan hasil belajar
siswa masih rendah. Oleh karena itu peneliti dan kolaborator sepakat melakukan
penelitian secara kolaborasi untuk berupaya meningkatkan mutu pembelajaran
dengan menerapkan pendekatan pembelajaran kontekstual sehingga diharapkan hasil
belajar martematika siswa meningkat.
B.
Identifikasi
Masalah
Berdasarkan
latar belakang permasalahan di atas, maka dapat diidentifikasikan permasalahan
sebagai berikut:
1.
Hasil belajar siswa masih rendah
2.
Motivasi belajar siswa masih rendah
3.
Sebagian besar siswa masih beranggapan
bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang sulit
4.
Dalam pembelajaran matematika siswa
lebih suka pasif menunggu penyajian materi dari guru dari pada berusaha mencari
dan menemukan sendiri pengetahuan yang mereka butuhkan
5.
Siswa kurang dapat menghubungkan materi
baru dengan materi yang telah dipelajari maupun masalah dalam kehidupan
sehari-hari
6.
Siswa enggan bertanya meskipun belum
memahami materi yang disampaikan guru
7.
Siswa lebih suka bekerja sendiri dari
pada bekerja secara kelompok
8.
Siswa enggan mempresentasikan hasil
pekerjaaannnya sebelum ditunjuk oleh guru
9.
Masih banyak siswa yang tidak mengerjakan
tugas/PR dengan alasan tidak biasa mengerjakan dan tidak mau berusaha
menanyakan kepada orang lain yang biasa mengerjakan
10. Siswa
kurang dapat menerapkan pengetahuan yang diperoleh untuk memecahkan masalah
dalam kehidupan nyata sehari-hari
11. Siswa
kurang mampu memecahkan masalah matematika dalam kehidupan sehari-hari
12. Pembelajaran
matematika masih terpusat pada guru.
13. Guru
belum terbiasa menerapkan pendekatan pembelajaran kontekstual dalam
pembelajaran matematika
14. Mutu
pembelajaran matematika masih rendah sehingga mempengaruhi rendahnya hasil
belajar siswa baik aspek afektif maupun kognitif.
C.
Pembatasan
Masalah
Penelitian
ini dibatasi pada upaya penerapan pendekatan pembelajaran kontekstual untuk
meningkatkan mutu pembelajaran matematika sehingga dapat meningkatkan hasil belajar
matematika siswa kelas …. baik aspek afektif maupun kognitif.
D.
Rumusan
Masalah
Bertolak
dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah dapat
dikemukakan rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah menerapkan pendekatan
kontekstual dalam pembelajaran matematika pada siswa kelas ….?
2.
Bagaimanakah hasil belajar matematika
siwa …. dengan digunakannya pendekatan kontekstual oleh guru?
E.
Tujuan
Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai daampenelitian ini adalah:
1.
Menerapkan pendekatan pembelajaran
kontekstual dalam pembelajaran matematika siswa kelas….
2.
Meningkatkan mutu pembelajaran
matematika dengan menerapkan pendekatan pembelajaran kontekstual agar dapat
meningkatkan hasil belajar siswa kelas ;;; baik aspek afektif mauopun aspek
kognitif.
3.
Meningkatkan keterampilan mengajar
matematika yang efektif engan pendekatan pembelajaran kontekstual sehingga
peneliti dan kolaborator sebagai guru diharapkan :
a. Mampu
membangun dan membina hubungan dan kerjasama yang baik dengan teman sejawat
maupun dengan para siswa
b. Mampu
menumbuhkan motivasi dan meningkatkan perhatian siswa mempelajari matematika
c. Mampu
membimbing para siswa memecahkan masalah matematika dalam kehidupan sehari-hari
d. Mampu
melaksanakan penilaian dengan Authentic assessment
F.
Manfaat
Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari hasil
penelitian ini adalah:
1. Manfaat
teoritis
a. Menambah
hasil penelitian tindakan kelas dalam pembelajaran matematika
b. Sebagai
masukan teoritis bagi peneliti yang akan datang agar dapat dikembangkan
penelitian yang lebih mendalam
2. Manfaat
praktis
a. Bagi
siswa hasil penelitian diharapkan dapat membantu dalam upaya mengatasi kesulitan
belajar sehingga dapat mencapai hasil belajar baik aspek afektif maupun
kognitif yang lebih baik.
b. Bagi
guru hasil penelitian diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajarannya,
mengembangkan model pembelajaran yang lebih tepat dan bervariasi, dan dapat
mengembangakan profesionalitasnya dengan
penelitian tindakan kelas.
c. Bagi
sekolah diharapkan meningkatkan mutu pendidikannya
d. Bagi
pemerintah diharapkan dapat memberi masukan dalam pengambilan kebijakan untuk
untuk meningkatkan nutu makna
BAB
II
KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG
RELEVAN, KERANGKA PIKIR, DAN HIPOTESIS TINDAKAN
A.
Kajian
Teori
1.
Hasil
Belajar
Gagne (1977:3) mendefinisikan belajar sebagai
berikut: “
Learning is a change in human
disposition or capability, which persists over a period of time, and which is
not simply ascribable to processes of growth. The kind of change called
learning exhibits itself as achange in behavior, and the inverence of learning
is made by comparing what behavior was possible before the individual was
placed in a “learning situation” and what behavior can be exhibited after such
treatment. The change may be, and often is, an increased capability for some
type of performance . it may also be an altered disposition of the sort called
“attitude” or “interest” or “value” . the change must have more than momentary
permanence; it must be capable of being retained over some period of time.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa belajar
adalah perubahan yang terjadi pada kemampuan diri mausia yang berlangsung dalam
jangka waktu tertentu. Perubahan kemampuan tersebut ditunjukkan dengan adanya
perubahan tingkah laku.
Nana Sujana (2004:28) mendefinisikan
belajar sebagai proses yang aktif, proses mereaksi terhadap semua situasi yang
ada disekitar individu. Belajar adalah proses yang diarahkan kepada tujuan,
proses berbuat melalui berbaga pengalaman. Belajar adalah proses melihat,
mengamati, memahami sesuatu. Apabila kita berbicara tentang belajar maka kita
berbicaera bagaimana mengubah tingkah laku seseorang. Perubahan belajar pada
individu dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti pberubah
pengetahuannya, pemahamannya, tingkah laku dan sikap, leketerampilan,
kecakapan, dan kemampuannya, daya kreasi, daya penerimaannya dan aspek-aspek lain
pada individu.
Winkel
(2005 : 59-61) menyatakan bahwa belajar pada manusia adalah suatu aktivitas
mental/psikis, yang berlangsung dalam interaksi dengan lingkungan yang
menghasilkan sejumlah perubahan dalam pengetahuan pemahaman , keterampilan dan
nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relative konstan dan berbekas.
Perolehan perubahan itu dapat berupa auatu hasil yang baru atau pula
penyempurnaan terhadap hasil yang teah diperoleh. Hasil belajar dapat berupa
hasil yang utama, dapat juga berupa hasil sebagai efek sampingan . proses
belajar dapat berlangsung dengan penuh kesadaran, dapat juga tidak demikian.
Sardiman
( 1992: 24) menyatakan bahwa secara umum belajar boleh dikatakan juga sebagai
suatu proses interaksi antara diri manusia dengan lingkungannya, yang mungkin
berwujud pribadi, fakta, konsep maupun teori. Dalam hal ini terkandung suatu
maksud bahwa proses interaksi itu adalah:
- Proses internalisasi dari sesuatu ke dalam diri yang belajar.
- Dilakukan secara aktif dengan segenap panca indera ikut berperan.
Sedangkan
menurut Syah ( 2001:64) secara umum belajar dapat dipahami sebagai tahapan
perubahan seluruh tingkah laku individu yang relative menetap sebagai hasil
pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yangmelibatkan proses kognitif.
Dari
beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses
usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku
yang relative menetap, baik yang dapat diamati maupun tidak dapat diamati
secara langsung yang terjadi sebagai suatu latihan atau pengalaman dalam
interaksinya dengan lingkungan.
Proses pembelajaran tidak lepas dari
penilaian hasil belajar. Penilaian dilakukan untuk memperoleh informasi tentang
kemajuan dan hasil belajar dalam ketuntasan penguasan konmpetensui. Penilaian
di sekolah dan madrasah (internal) dilakukan dalam bentuk ulangan harian dan
penugasan untuk mengetahui kemajuan dan hasil belajar di kelas. Penilaian di
sekolah dan madrasah digunakan untuk menentukan perbaikan, pengayaan dan
kenaikan kelas. Penilaian akhir dapat diselenggarakan oleh sekolah dan madrasah
atau oleh pihak luar )(eksternal). Penilaian eksternal dapat digunakan sebagai
pengendali mutu pendidikan seperti ujian nasional dan tes kemampuan dasar.
Penilaian kelas sebagai bagian internal dari kegiatan pembelajaran dilakukan
oleh guru. Dalam pelaksanaan penilaian kelas , guru berwenang untuk menentuka
criteria keberhasilan, caram, dan jenis penilaian. Penilaian kelas berorientasi
pada:
- Acuan Patokan
Semua kompetensi perlu dinilai
menggunakan acuan criteria berdasarkan indicator hasil belajar. Sekolah dan
madrasah menetapkan kriteroaia sesuai dengan kiondisi dan kebutuhannya.
- Ketuntasan Belajar
Pencapaian hasil belakajr
ditetapkan dengan ukuran atau tingkat pencapaian kompetensi yang memadai dan
dapat dipertanggungjawabkan sebagai prasayarat penguasaan kopetensi lenih
lanjut.
- Multi Alat dan Cara Penilaian
Penilaian menggunakan berbagai alat
dan cara, yaitu tes dan non tes untuk memantau kemajuan dan hasil belajar
peserta didik.
- Criteria Penialain
Penilaian mempberikan informasi
yang akurat tentang pencapoaian kompetensi dasar peserta didik, adil terhadap
semua peserta didik, terbuka bagi semua pihak, dan dilaksanakan secara
terrencana, bertahap, dan terus menerus untuk memperoleh gambaran tentang
perkembangan belajar peserta didik ( Nurhadi, 2005: 30-31)
Prestasi belajar yang merupakan
gambaran hasil belajar, adalah tingkat penguasaan kompetensi mata pelajaran
sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Sesuai dengan Taksonomi tujuan
pembelajaran, maka hasil belajar dibedakan dalam tiga aspek, yaitu aspek
kognitif, afektif dan psikomotor. Sellanjutnya disini akan diuraikan duaaspek
yang paling dominan yaitu aspek kognitif dan afektif.
a. Hasil
Belajar Aspek Afektif
Aspek afektif adalah donmain yany
dberhubungan dengan perasaan, emosi, sikap hati yang menunjukkan penerimaan
atau penolakan terhadap sesuaitu, apresiasi(penghargaan) dan penyesuaian
perasaan social (Hamzah, dkk, 2011:9).
Sedangkan Gulo (2004:66) memberikan
batasan orientasi dan penggolongan aspek afektif sebagai berikut:
Tujuan pengajaran diarahjkan pada
kawasan afektif ini beririentasi pada factor-faktor emosional, seperti
perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap moraldan sebagainya.
Pengggolongannya dikategorikan daklam lima jenis taksonomi yang terurut secara
pertahap yaitu:
1) Penerimaan
(receiving)
2) Penanggapan
( responding)
3) Penilaian
( valuing)
4) Pengorhganisasian
(organization)
5) Karakterisasi
(characterization)
Selanjutnya
dari lima jenis taksonomi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikuta;
1) Penerimaan
(receiving/Atending)
Menurut Hamzah, dkk (2001:9)
kemamuan menerima merupakan keinginan untuk memeprhatikan suatu gejala atau
rancangan tertentu, seperti keinginan membaca buku, mendengar music atau
bergaul dengan orang yang mempunyai ras berbeda.
Gulo (2004:66) merinci penerimaan
inidlalam tiga tahap:
a) Kesiapan
untuk menerima (awareness), yaitu kesiapan untuk berinteraksi dengan
stimulusbyangditandai dengan kehadiran dan usaha untuk member oeerhatian dpada
stimulus yang bersangkutan.
b) Kemauan
untuk menerima (willingness to receives), yaitu usaha untuk
mengalokasikanperhatian pada stimulus yang bersangkutan.
c) Mengkhususkan
perhatian ( controlled or selected attention) pada bagian tertentu dari
stimulus yang diperhatikan.
2) Penanggapan
( responding)
Penanggapan merupakan kegiatan yang
menunjukkan pada partidsipasi aktif dalam kegiatan tertentu, seperti
menyelesaikan tugas terstruktur, mentataati peraturan, mengikuti diskusi,kelas,
menyelesaikan ntugas lab atau menolong orang lain (Hamzah, dkk 2001:9)
Proses ini menurut Gulo (2004:67)
terdiri dari tiga tahap yaitu:
a) Kesiapan
menanggapi (acquiescence of responding) yang ditandai dengan mengajukan
pertanyaan atau menempelkan gambar dari tokoh yang diesenangi pada tembok kamar
yang bersangkutan atau manaati peraturan lalulintas atau tata tertib
b) Kemauan
menanggapi (willingness to respond) yaitu usaha untuk melihat hal-hal yang
khusus di dalam bagian yang diperhatikan. Misalnya pada desainnya saja, atau
warna, atau masalah social yang lebih luas daripada lingkup lokal.
c) Kepuasan
menanggapi ( satisfaction in response) yaitu adanya saaksi atau kegiatan yang
berhubungan dengan usaha untuk memuaskan keinginan mengetahui. Kegiatan uayang
tampak adlah bertanya, membuat coretan atau ganmbar, mengambil foto dati objek
yang menjadi pussat perhatian, dan sevbagainya.
3) Penilaian
( valuing)
Penilaian adalah suatu sikap yang
berkenaan dengan kemauan menerima sistem nilai tertentu pada diri individu,
seperti menunjukkan kepercayaan terhadap sesuatu, penghargaan terhadap sesuatu,
kesungguhan untuk melakukan suatu kehidupan sosial (Hamzah, dkk, 2001:9).
Gulo
(2004:68) penilaian terbagi atas empat tahap yaitu:
a) Menerima
nilai (acceptance of value), yaitu
kelanjutan dari usaha memuaskan diri untuk menanggapi secara lebih intensif.
b) Menyeleksi
nilai yang lebih disenangi (preference
for a value) yang dinyatakan dalam usaha untuk mencari contoh yang dapat
memuaskan perilaku menikmati, misalnya lukisan yang memiliki nilai yang
memuaskan
c) Komitmen,
yaitu kesetujuan terhadap suatu nilai dengan alasan-alasan tertentu yang muncul
dari rangkaian pengalaman.
4) Pengorganisasian
(Organization)
Hamzah, dkk, (2001:10) menjelaskan
sebagai berikut:
Pengorganisasian berkenaan dengan
penerimaan terhadap berbagai system nilai yang berbeda-besda berdasarkan suatu
system nilai yang lebih tinggi, seperti menyadari pentingnya keselarasan antara
hak dan kewajiban, bertanggungjawab terhadap hal yang telah dilakukan,
memahami, dan menerima kelebihan dan kekurangan diri sendiri, atau menyadari
peranan perencanaan dalam memecahkan suatu permasalahan.
Proses pengorganisasian terjadi
dalam dua tahapan :
a) Konseptualisasi
nilai, yaitu keinginan untuk menilai hasil karya orang lain, atau menemukan
asumsi-asumsi yang mendasari suatu moral atau kebiasaan.
b) Pengorganisasian
system nilai, yaitu menyusun perangkat
nilai dalam suatu system nilai berdasarkan tingkat preferensinya (Gulo,
2004:68)
Dalam
system ini yang bersangkutan menempatkan nilai yang paling disukai pada tingkat
yang amat penting, menyusul kemudian nilai yang dirasakan agak penting, dan
seterusnya menurut urutan kepentingan atau kesenangan dari diri yang
bersangkutan.
5) Karakteristik
(characterization)
Karakterisasi merupakan tingkatan
afeksi yang tertinggi. Pada taraf ini , individu yang sudah memiliki sistem
nilai selalu menyelaraskan perilakunya
sesuai dengan system nilai yang dipegangnya, seperti bersikap objektif terhadap
segala hal (Hamzah, dkk, 2001:10)
Menurut Gulo (2004:69) proses
karakteristik terdiri atas dua tahap sebagai berikut:
a) Generalisasi,
yaitu kemampuan untuk melihat suatu masalah dari suatu sudut pandang tertentu
b) Karakterisasi,
yaitu mengembangkan pandangan hidup tertentu yang memberi corak tersendiri pada
kepribadian diri yang bersangkutan.
b. Hasil
Belajar Aspek Kognitif
Taksonomi
Bloom tentang aspek kognitif telah direvisi oleh Anderson & Krathwohl.
Anderson & Krathwohl (2001:263) menyatakan sebagai berikut:
The original framework consisted of six
major categories arranged in the following order; knowledge, comprehension,
application, analysis, synthesis, and evaluation. The categories above
knowledge were collectively labeled ‘abilities and skill’. It was understood
that knowledge is used in each of the abilities and skills because their
effective use requires the appropriate knowledge.
Knowledge
dimension
|
Separate dimension
|
Knowledge
|
Coprehension
|
Remember
|
understand
|
analysis
|
Aplication
|
synthesis
|
aplly
|
analyze
|
evaluate
|
Evaluation
|
Create
|
Cognitive
process dimension
|
Gambar
1. Bagan Ringkasan Perubahan Tingkatan Aspek Kognitif dari Kerangka Asal Revisinya
The
knowledge dimension dibedakan menjadi empat macam, yaitu: a)
factual knowledge, b)conceptual
knowledge, c) procedureal knowledge, dan
d)metakognitive knowledge.
Dari
pengertian diatas dapat dibuat table Taxonomy
sebagai berikut:
THE
KNOWLEDGE
DIMENSION
|
THE COGNITIVE PROCESS DIMENSION
|
|||||
REMEMBER
|
UNDERSTAND
|
APPLY
|
ANALYZE
|
EVALUATE
|
CREATE
|
|
A.
FACTUAL
KNOWLEDGE
|
|
|
|
|
|
|
B.
CONCEPTUAL
KNOWLEDGE
|
|
|
|
|
|
|
C.
PROCEDURAL
KNOWLEDGE
|
|
|
|
|
|
|
D.
METAKOGNITIVE
KNOWLEDGE
|
|
|
|
|
|
|
(Sumber:
Anderson & rathwohl (2001:28)
Anderson
& rathwohl (2001:29-31) membedakan aspek kognitif dalam dua dimensi yaitu
dimensi pengetahuan (the knowledge
dimension) dan dimensi proses kognitif (the
cognitive dimension):
1) Dimensi
Pengetahuan (the Knowledge Dimension)
Dimensi pengetahuan dibedakan menjadi
4 jenis, yatu:
a) Pengetahuan
Fakta (Factual Knowledge)
Factual Knowledge dibedakan
menjadi dua macam:
(1) Pengetahuan
tentang istilah (knowledge of
terminology)
(2) Pengetahuan
tentang unsur-unsur khusus dan detail (knowledge
of specific details and elements).
b) Pengetahuan
tentang Konsep ( Conceptual knowledge)
Conceptual
knowledge dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu:
(1) Pengetahuan
tentang penggolongan dan kategori (knowledge
of classifications and categories)
(2) Pengetahuan tentang prinsip dan generalisasi (
(knowledge of principles and
generalizations)
(3) Pengetahuan
tentang teori, model, dan struktur ( Knowledgw
of theories, models, and structures)
c) Pengetahuan
tentang Prosedur ( Procedural Knowledge).
(1) Pengetahuan
tentang subjek keterampilan khusus dan algoritma ( Knowledge of subject-specific sklills and algorithms).
(2) Pengetahuan
tentang subjek teknik dan metode khusus (knowledge
of subject-specific techniques and methods)
(3) Pengetahuan tentang criteria untuk menentukan
penggunaan procsedurbyang sesuai (knowledge
of criteria for determining when to use appropriate procedures)
d) Pengetahuan
Metakognitif (metacognitive knowledge)
Metacognitive
knowledge dibedakan menjadi tiga macam:
(1) Pengetahuan
tentang strategi (strategic knowledge)
(2) Pengetahuan
tentang tugas kognitif termasukpengetahuan kontekstual dan kondisionalyang
sesuai (knowledge about cognitive tasks,
including appropriate contextual and conditional knowledge)
(3) Pengetahuan
pribadi (self-knowledge)
2) Dimensi
Proses Kognitif ( the Cognitive Process
Dimension)
Dimensi kognitif dibedakan menjadi
6(enam) macam sebagai berikut:
a) Mengingat
( remember)
Dalam proses mengingat (remember) dibedakan menjadi dua proses, yaitu:
(1) Pengenalan
( regognizing)
(2) Pengingatan
(Recalling)
b) Memahami
(understand)
Dalam proses memahami (understand) dibedakan menjadi t proses :
(1) Penafsiran
(interpreting)
(2) Pemberian
contoh (exemplifying)
(3) Penggolongan
(classifying)
(4) Peringkasan
( summarizing)
(5) Penyimpulan
( inferring)
(6) Membandingkan
( comparing)
(7) Menjelaskan
(explaining)
c) Menerapkan
( apply)
d) Menganalisis
(analyze)
Dalam proses menganalisis (analyze) meliputi tiga proses;
(1) Pembedaan
( differentiating)
(2)
Pengaturan (organizing)
(3)
Penentuan ( attributing)
e)
Mengevaluasi ( Evaluate)
Dalam proses mengevaluasi (evaluate) meliputi dua proses:
(1) Pemeriksaan
(checking)
(2) Mengkritisi
(critiquing)
f) Menciptakan
(create)
Create meliputi
tiga proses:
(1)
Membangkitkan (generating)
(2)
Merencanakan (planning)
(3)
Memproduksi (producting)
2.
Matematika
dan Pembelajaran Matematika
a. Karakteristik
Matematika
Istilah mathematics (Inggris),
mathematic (Jerman), mathematique (Perancis), matematico (Itali), matematiceksi
(Rusia), atau mathematic/wiskunde (Belanda) berasal dari perkataan latin
mathematica, yang mulanya diambil dari perkataan Yunani, mathematike, yang
berarti “relating to learning”. Perkataan itu mempunyai akar kata mathema yang
berari pengetahuan atau ilmu ( knowledge, science). Perkataan mathematike
berhubungan sangat erat dengan sebuah
kata lainnya yang serupa yaitu, mathanein yang mengandung arti belajar/berpikir
(Erman Suherman, 2001: 17-18)
Walle
(2004:12) mendefinisikan :
Mathematics is a science of pattern and
order. Its domain is not molecules or cells, but members, chance, algorithms,
and change. As a science of abstract objects, mathematics relies on logic
rather than on observation as its standard of truth, yet employs observation
simulation, and even experimentation as means of discovering truth.
Menurut
Erman Suherman (2001:22-23) matematika tumbuh dan berkembang karena proses
berpikir , oleh karena logika adalah dasar untuk terbentuknya matematika.
Logika adalah masa bayi dari matematika, sebaliknya matematika adalah masa
dewasa dari logika. Pada permulaannya cabang-cabang matematika yang ditemukan
adalah aritmetika, atau berhitung, aljabar, dan geometri. Setelah itu ditemukan
kalkulus yang berfungsi sebagai tonggak penopang terbentuknya cabang matematika
baru yang lebih kompleks antara lain statistika, topologi, aljabar (linear,
abstrak, himpunan), geometri (system geometri, geometri linear) analisis
vector, dan lain-lain).
Dari definisi dan keterangan diatas
diperoleh sedikit gambaran tentang pengertian matematika dengan menggabungkan
pengertian dari definisi-definisi tersebut. Semua definisi dapat diterima
karena matematika dapat ditinjau dari segala segi, dan matematika itu sendiri
dapat memasuki segi kehidupan manusia, dari yang paling sederhana sampai kepada
yang paling kompleks.
Matematika tersusun dari rangkaian
pengertian-pengertian (konsep), dan rangkaian-rangkaian pernyataan-pernyataan
(hukum, sifat, teorema, dalil, prinsip). Bell (1978:108-109) membagi objek
pembelajaran matematika menjadi dua macam yaitu objek langsung dan objek tidak
langsung sebagai berikut:
these
objects of mathematics learning are those direct and indirect things
which we want students to learn in mathematics. The direct objects of
mathematics learning are facts, skills, concepts, and principles; some of the
many indirect objects are transfer of learning , inquiry ability,
problem-solving ability , self-disciline, and appreciation for the structure of
mathematics, the direct objects of mathematics learning-facts, skills,
concepts, and principles-are the four categories into which mathematics content
can be separated.
Ringkasnya
objek pembelajaran matematika dibedakan menjadi dua yaitu objek langsung dan objek
tak langsung. Objek langsung pembelajaran matematika terdiri dari fakta,
konsip, skill, dan prinsip. Sedang objek tak langsung pembelajaran matematika
terdiri dari transfer pengetahuan, kemampuan menemukan, kemampuan memecahkan
masalah, disiplin diri, dan apresiasi terhadap struktur matematika.
Objek langsung dipelajari secara
langsung dan terpadu , tidak terpisah-pisah. Dalam pembahasan satu sub topic,
mungkin dimulai dengan menangkap pengertiannya, kemudian mengenal penamaannya,
kemudian menyelidiki sifat-sifatnya dan melakukan operasi serta menyusun
langkah kerjanya, kemudian baru beralih ke pengertian yang lain. Diantara
pengertian-pengertian yang telah diperoleh masih harus disusun keterkaitannya
satu dengan yang lain sehingga membentuk satu struktur konsep atau peta konsep.
Dengan struktur konsep yang terpadu itu maka mulai dihadapkan pada masalah
dalam konteks terapan dari konsep-konsep itu. Dalam mempelajari matematika
secara tidak langsung juga terbentuk
nilai dan sikap matematis yang dapat duialihgunakan dalam mata pelajaran
lain atau bahkan dalam memecahkan masalah sehari-hari.
b. Matematika
Sekolah
Menurut
Erman Suherman (2001:24) matematika dikenal sebagai ilmu deduktif. Ini berarti
bahwa proses pengerjaan matematika harus bersifatdeduktif. Matematika tidak
menerima generalisasi berdassarkan pengamatan (induktif) tetapi harus
berdasarkan pembuktian (deduktif). Baik isi maupun metode mencari kebenaran
dalam matematika berbeda da]engan ilmu pengetahuan alam apalagi dengan ilmu
pengetahuan pada umumnya .metode mencari kebenaran yang digunakan dalam
matematika adalah metode deduktif, sedangkan metode yang digunakan dalam ilmu
pengetahuan alam adalah metode induktif atau eksperimen. Dalam matematika suatu
generalisasi, sifat, teori, atau dalil belum dapat diterima kebenarannya
sebelum dapat dibuktikan secara deduktif. Meskipun demikian untuk membantu
pemikiran siswa dalam mempelajari matematika di sekolah pada tahap-tahap
permulaan seringkali diperlukan bantuan contoh-contoh khusus atau ilustrasi geometris.
Dalam pembelajaran matematika di sekolah, mencari kebenaran dapat dimulai
dengan cara induktif, tetapi seterusnya generalisasi yang benar untuk semua
keadaan harus dibuktikan secara deduktif.
Dalam
matematika juga dikenal suatu cara pembuktian yang disebut dengan induksi
matematika. Pada Wikipedia Indonesia (2008:1) dijelaskan bahwa:
Induksi matematika merupakan pembuktian
deduktif meski namanya induksi. Induksi matematika atau disebut juga induksi
lengkap sering dipergunakan untuk perbnyataan-pernyataan yang menyangkut
bilangan-bilangan asli. Pembuktian cara induksi matematika ingin membuktikan
bahwa teori atau sifat itu benar untuk senmua bilangan asli atau semua bilangan
dalam himpunan bagiannya. Caranya adalah dengan menunjukkan bahwa sifat itu benar
untuk n=1 (atau S(1) adalah benar.), kemudian ditunjukkan bahwa bila sifat itu
benar untuk n=k (bila S (k) benar) menyebabkan sifat itu benar untuk n = k +1
(atau S(k+1) benar).
Dari
penjelasan diatas dapat diambil pengertian bahwa meskipun disebut induksi, cara
pembuktian induksi matematika juga merupakan pembuktian yang bersifat deduktuf.
Matematika
menempati posisi yang sangat penting dalam kurikulum sekolah di Indonesia
sehingga diajarkan di setiap jenjang pendidikan ternmasuk di SMA/MA. Dalam lampiran
3 Permen Diknas nomor 23 tahun 2006 (peraturan menteri, 2006:387) disebutkan
bahwa matematika merupakan ilmu yang universal yang mendasari perkembangan
teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan
mengembangkan daya piker manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi
informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di
bidang teori bilangan, aljabaer, analisis, teori peluang dan matematika
diskrit. Untuk menguasai dan menciptakan teknoliogi di masa depan diperlukan
pengasaan matematka yang kuat sejak dini.
Mata
pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik untuk
mmembekali mereka dengan kemampuan nberpikir logis, analisis, sistematis,
kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama. Kompetensi tersebut
diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola,
dan memanfaatkan informasi untuk bertahan huidup pada keadaan yang selalu
berubah, tidak pasti, dan kompetitif.
Standar
kompetensi dan kompetensi dasar matematika disusun sebagai landasan
pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan tersebut diartas. Selain itu
dimaksudkan pula untuk mengembangkan kemampuan maltematika dalam pemecahan
masalah dan mengkomunikasikan idea tau gagasan dengan menggunakan symbol, table,
diagram, dan media lain.
Pemndekatan
pemecahan masalkah merupakan focus dalam pembalajaran matematika yang mencakup
masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak
tunggal, dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Untuk meningkatkan
kemampuan memecahkan masalah perlu dikembangkan keterampilan memahami masalah,
membuat model matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan solusinya,
Dalam
setiap kesempatan. Pembelajaran matematika hendaknya dimuali dengan mengenal
masalah yang seusuai dengan situasi (contextual
problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara
bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Untuk meningkatkan
keefektifan pembelajaran, guru diharapkan menggunakan teknologi informasi dan
komunuikasi seperti computer, alat peraga, dan media lainnya. Selain itu ada
pembahasan mengenai bagaimana matematika banyak diterapkan dalam teknologi
informasi sebagai perluasan pengetahuan peserta didik.
Berdasarkan
permendikmnas nomor 23 tahun 2006 pada lampiran 3 (peraturan menteri, 2006:
388) mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan
sebagai berikut:
1.
Memahami
konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan
konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam
pemecahan masalah
2.
Menggunakan
penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat
generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika
3.
Memecahkan
masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika,
menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh
4.
Mengomunikasikan
gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas
keadaan atau masalah
5.
Memiliki
sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin
tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan
percaya diri dalam pemecahan masalah.
Ruang Lingkup Mata pelajaran
Matematika pada satuan pendidikan SMA/MA meliputi aspek-aspek sebagai berikut.
1.
Logika
2.
Aljabar
3.
Geometri
4.
Trigonometri
5.
Kalkulus
6. Statistika dan Peluang.
c. Pendekatan
Pembelajaran Kontekstual
1) Pengertian
Pendekatan Pembelajaran Kntekstual
Pendekatan pembelajaran kontekstual
adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran kontekstual. Menurut
Suryanto (2002:20-21) pembelajaran kontekstual adalah:
Pembelajaran yang menggunakan
bermacam-macam masalah kontekstual sebagai titik awal, sedemikian sehingga
siswa vbelajar dengan menggunakan pengetahuan dan kemampuannya untuk memecahkan
berbagai masalah, baik masalah nyata maupun masalah simulasi, baik masalah yang
berkaitan dengan pelajaran lain disekolah, situasi sekolah, maupun masalah di
luar sekolah, termasuk masalah-masalah di tempat-tempat kerja yang relevan.
Johnson (2002:25) mendefinisikan
pendekatan CTL sebagai berikut:
The CTL system
is an educational process that aims to help students see meaning in the
academic material they are studying by connecting academic subjects with the
context of their daily lives, that is, with the context of their personal
social , and cultur circumstances.
Sedangkan menurut Nurhadi (2002:1)
pendekatan kontekstual (contextual
teaching and learning (CTL)) merupakan konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi pelajaran dengan dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antar pengetahuan yang mereka miliki dengan penerpan dalam
kehidupan mereka, sebagai anggota keluarga, masyarakat. Dengan konsep itu hasil
pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran
berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami , bukan
transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih
dipentingkan daripada hasil.
Kemudian dijelaskan ula dalam
Teachnet (2007:1) sebagai berikut:
Contextual
teaching and learning (CTL) helps us relate subject matter content to real
world situations and motivate students to make connections between knowledge
and its applications to their lives as family members, citizens, and workers
and engage in the hard work that learning requires.
Dari beberapa defnisi tersebut
diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam pembelajaran matematika yang
kontekstual proses pengembangan konsep-konsep dan gagasan-gagasan matematika
bermula dari dunia nyata. Dunia nyata tidak hanya berarti konkrit secara fisik
mayupun kast mata namun juga termasuk hal-hal yang sdapat dibayangka n oleh
alam pikiran siswa yang sesuai dengan pengalamannya. Masalah-lasalah yang
actual dan familier dengan siswa digunakan sebagai titik awal pembelajaran
matematika. Pembelajaran matematika yang kontekstual sangat bermanfaat untuk
menunjukkan beberapa hal kepada siswa antara lain keterkaitan antara matematika
dengan dunia nyata, kegunaan matematika bagi kehidupan manusia dan merupakan
suatu ilmu yang tumbuh dari situasi kehidupan nyata.
Salah satu misi pengelolaan
kegiatan pembelajaran matematika yang kontekstual adalah agar pelajaran
matematika di sekolah tidak dipandang sebagai sesuaitu yang disampaikan atau
dialihkan dari guru ke siswa, tetapi proses pembelajaram mat dipandang sebagai
suatu kegiatan yang disebut proses matematisasi, dimana diharapkan siswa dapat
menemukan konsep prinsip, dan prosedur dengan sedikit bantuan guru. Belajar
matenmatika yang kontekstual akan terjadi ketika peserta didik menerapkan dan
mengalami apa yang telah diajarkan berkaitan dengan masalah nyata dengan
peranan dan tanggungjawab nya sebagai anggota keluarka, masyarakat.
Pembnelajaran mat yang kontekstual menekankan pada tingkaty berpikir yang tinggi,
transfer pengetahuan yang lintas disiplin akademik, pengumpulan , analisisdan
sintesis informasi atau data dari berbgai sumber dan suduf pandangan. Inti
pembelajaran matematika yang kontekstualadalah melibatkan situasi dunia
nyatasebagai sumber belajar ataupun terapan materi pelajaran.
2) Teori
yang Melandasi Pendekatan Pembelajaran Kontekstual
a).
Teori Piaget
Piaget
memperkenalkan sejumlah gagasan dan konsep untuk mendeskripsikan dan
menerangkan perubahan-perubahan pemikiran yang logis yang dia amati pada
anak-anak dan remaja sebagai berikut:
(1)
Children are active and motivated learners
(2)
Children
construct knowledge from their experiences.
(3)
Children learn
through the two complementary processes of assimilation and accommodation.
(4)
Interaction with
one’s physical and social environments is essential for cognitive development.
(5)
The process of
equilibration promotes progression toward more complex levels of thought
(6)
Cognitive
development can proceed only after certain genetically controlled neurological
changes occur (Ormrod, 2003: 23-25)
Selanjutnya
Piaget membagi tingkat-tingkat perkembangan kognitif anak, yaitu bahwa proses
belajar anak akan mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai
dengan umurnya., Ormrod (2003:25) menyebutkan teori Piaget tersebut sebagai
berikut;
A major feature of Peaget’s theory is his
description of four stages of logical reasoning capabilities : (1) Sensorimotor
stage (birth until 2 years), (2) Preoperational stage (2 years until 6 or 7
years), (3) Concrete operations (6 or 7 years until 11 or 12 years), and (4)
Formal operations stage (11 or 12 years through adulthood)
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kegiatan pembelajaran itu memusatkan
perhatian kepada berfikir atau proses mental anak, yang tidak sekedar pada hasilnya
, mengutamakan peran siswa dalam kegiatan pembelajaran, dan memaklumi perbedaan
individu dalam hal kemajuan perkembangannya. Bagi guru matematika, teori Peaget
jelas sangat relevan, karena dengan menggunakan teori itu, guru akan bias
mengetahui adanya tingkat-timngkat perkembangan tertentu pada kemampouan
berfikir anak-anak di kelas atau di sekolahnya. Dengan demikian guru dapat
memberikan perlakuan yang tepat pada siswanya.
c) Teori
Bruner
Ada
dua bagian yang penting dalam belajar yaitu tahap-tahap dalam proses belajar
dan teori tentang cara belajar dan mengajar matematika.
(1) Tahap-tahap
dalam proses belajar
Ada tiga tahap perkembanagn kognisi
menurut Bruner, yatu tahap enaktif, tahap ikonik, dan tahap simbolik. Seifert
(1983:188-189) memberikan penjelasan sebagai berikut:
Bruner also
believes that learning can ocuur in any of three ways or modes: enactive,
iconic, or symbolic. Enactive learning bears a striking resemblance to Piaget’s
sensorimotor intelligence: it mean s learning by manipulating objects-doing
thing rather than conceiving of them, children may know to jump rope ( “enact”
the skill) but not how to describe the activity in words, nor even how to
picture it in their minds. Iconic learning is pictorial: in this mode ,
children represent knowledge through mental images, which can also come in a
series much like a slide show for representing more complex activities or
memories. Symbolic learning ,as its name implies, requires arbitrary or
abstract representations of knowledge, and as such, it resemblesPiaget’s formal
operational thinking.
Dari penjelasan tersebut dapat diambil
pengertian bahwa Bruner membagi tahap perkembangan kognisi anak menjadi tiga
tahap sebagai berikut:
(a) Tahap
enaktif, yaitu anak melakukan aktivitas-aktivitas dala upaya memahami
lingkungan.
(b) Tahap
ikonik, yaitu anak memahami dunia melalui gambaran-gambaran dan visualisasi.
(c) Tahap
simbolik, yaitu anak telah memiliki gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi
oleh bahasa dan logika.
(2) Teori
tentang cara Belajar dan Mengajar Matematika
Bruner
dalam teorinya menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika
proses pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang
terbuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, di samping hubungan yang terkait
antara konsep-konsep dan struktur-struktur . dengan mengenal konsep dan
struktur yang tercakup dalam bahan yang sedang dibicarakan, anak akan memahami
materi yang harus dikuasai. Ini menunjukkan bahwa materi yang mempunyai pola
atau struktur tertentu akan lebih mudah dipahami dan diingat anak. Bruner
melalui teorinya itu mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak sebaiknya
diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda (alat peraga). Melalui alat
peraga yang ditelitinya itu anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan dan
pola struktur yang terdapat dalam benda yang sedang dieperhatikannya itu.
Keteraturan tersebut kemudian oleh anak dihubungkan dengan keterangan intuitif
yang telah melekat pada dirinya (Erman Suherman, 2001:44-45).
Salah
satu model pengajaran menurut teori kgnisi yang berpengaruh dari Bruner adalah
discovery learning. Menurut Djiwandono (1989:84) ada beberapa keuntungan
penting dengan discovery learning. Pertama, discovery learning menimbulkan
keingintahuan siswa, dapat memotivasi siswa untuk melajutkan pekerjaan mereka
sampai mereka menemukan jawaban-jawabannya. Kedua pendekatan ini dapat mengajar
keterampilan memecahkan masalah secara mandiri dan mungkin memaksa siswa untuk
menganalisa dan memanipulasi informasi, dan tidak hanya menyerap secara sederhana
saja.
Bruner
( Schell, 2001:1) menjelaskan sebagai berikut:
Many cognitive scientists believe that
all of us create cognitive or mental structures. These mental models provide
meaning to use and organization to the learners’experiences. In this way , individuals
construct new ideas or concepts. The teacher’s role is to facilitate the
construction of the learners’ ideas through self-discovery, inquiry, and
critical examinitation of what constructed knowledge. Learners are active
participants in building on what they have already learned. Bruner’s
constructivist theory is based on the study of cognition and is often linked to
Piaget’s child development research. The general instructional implications of
Bruner’s theoryinclude the following:
1.
Instruction must
be concerned with the experiences and contexts that make the student willing
and able to learn (readiness)
2.
Instruction must
be structured so that the student can easily place new knowledge on prior
information.
3.
Instruction
should be designed to facilitate refinement and reflection on the meaning of
constructed knowledge.
Bruner
menekankan adanya pengalaman anak dalam pembelajaran. Dengan cara ini siswa
akan membangun atau membentuk konsep atau gagasan baru sendiri. Peran guru
adalah sebagai fasilitator yang memberikan kemudahan kepada siswa dalam
membangun suatu konsep atau gagasan, siswa akan membangun dan menemukan
sendriri konsep yang mereka pelajari sevcara aktif. Bruner memberikan teori
konstruksi dalam pembelajaran sebagai berikut:
(1) Pembelajaran
harus terkait dengan konteks dan pengalaman yang membuat siswa senang dam
bamampu untuk belajar
(2) Pembelajaran
harus disusun sedemikian rupa sehingga agar siswa dapat menghubungkan
pebgetahuan baru dengan pengetahuan yang telah doiperoleh sebelumnya.
(3) Pembelajaran
harus dirancang untuk memudahkan siswa merefleksi dan memperbaiki makna
pengetahuan yang telah dibangun.
d) Teori
Vigotsky
Menurut Vigotsky (M0ll, 1990:138)
interaksi social yaitu interaksi
individu dengan individu lain, merupakan factor penting yang mendorong
atau memicu perkembangan kognitif siswa. Interaksi dengan orang lain memberikan
rangsangan dan bantuan bagi siswa untuk berkembang. Proses-proses mental yang
dilakukan atau dialami oleh seorang anak dalam interaksinya dengan orang lain
diinternalisasi oleh siswa. Dengan cara ini kemampuan kognitif siswa
nberkembang. Proses belajar akan terjadi secara efisien dan efektif apabila
siswa belajar secara kooperatif dengan siswa lain dalam suasana ilingkungan
yang mendukung, dalam bimbingan seseorang yang lebih mampu seperti guru.
c) Teori
Belajar Bermakna Ausubel
Bell (1978: 131) menjelaskan teori
bbermakna Ausubel sebagai b erikut:
Ausubel’s theory
of meaningful verbal learning contains a rationale for expository teaching and
show how lecture-type lessons can be organized to teach the structure of a
discipline to make learning more meaningful to students. As a proponent of
expository teaching and verbal learning, Ausubel shows how reception learning
can be both efficient and meaningful. However, some critict of reception
learning and some proponents of discovery learning claim that reception
learning and some proponents learning usually is rote learning and discovery
learning usually is meaningful for students. Consequently, many uf Ausubel’s
writings contain a discussion of reception learning versus discovery learning
and meaningful learning versus rote learning, in which he refutes these claims.
Teori
Ausubel yaitu teori belajar bermakna berisi suatu dasar pemikiran bagi guru dan
menunjukkan bagaimana mengorganisasi materi pembelajaran agar pembelajaran
lebih bermakna bagi siswa. Ausubel menunjukkan bagaimana pembelajaran yang
bermaksna dan efisien dalam beberapa tuisannya yang berisi diskusi tentang
belajar menemukan dan belajar bermakna yang dilawankan dengan belajar
menghafal.
Ausubel
juga menekankan cara seseorang mengorganisasi pengetahuan yang didapatnya.
Organisasi atau struktur kognisi ini dipandang sebgai factor utama dalam
belajar dan mengingat bahan-bahan baru yang bermakna, maka materi baru haruslah
bertalian dan sebagai bagian dari konsep-konsep yang telah ada dalam struktur
kognisi.Proses menghhubungkan informasi baru dengan elemen-elemen dalam
struktur kognisi disebut subsumption atau
menyatukan menjadi bagian dari struktur itu. Dengan cara ini belajar menjadi
bermakna. Ausubel juga menekankan pentingnya konsep dan prinsip umum untuk
belajar dan mengingat (Pidarta, 2000:205)
Inti
dari teori belajar ausubel adalah pembelajaran yang bermakna. Jika dikaitkan
denganCTL maka pembelajaran bermakna merupakan salah satu filosofinya karena
CTL merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang didasarkan pada filosofi
bahwa siswa mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap makna dalam
materi pelajaran yang mereka terima, dan mereka menangkap makna dalam tugas-tugas
sekolah jika mereka mengaitkan informasi baru dengan pengerttahuan dan
pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya.
d)
Konstruktivisme
Konstruktivisme
merupakan landasan berfikir (folosofi) pendekatan CTL yaitu salah satu aliran
filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia
sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas
(sempit) dan tidak sekonyong-konyong.pengetahuan bukanlah seperangkat
fakta-fakta konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia
harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan member makna melalui pengalaman
nyata(Nurhadi, 2002:10-11).
Secara
ringkas gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan dapat dirangkum sebagai
berikut:
1) Pengetahuan
bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan
konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
2) Subjek
membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk
pengetahuan.
3) Pengetahuan
dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk
pengetahuan bila konsep itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman
pengalaman seseorang (Suparno, P, 2001:21).
Kock (2004:146)
menjelaskan prinsip konstruktivisme sebagai berikut:
The principle that learning is a constructive
activity is based on the idea that everyday learning accurs during problem
solving and working. Everyday learning has little to do with the transmission
of knowledge, which is central to traditional school learning, and more to do
with an active and personal construction of knowledge and skills and
development of competencies. Most constructivists therefore argue than the most
important goals of learning in the school context are problem solving,
reasoning, and critical – thinking skills – the active and reflective use of
knowledge and self-regulation skills.
Prinsip bahwa belajar adalah suatu aktivitas
yang bersifat membangun didasarkan gagasan bahwa belajar akan terjadi selama
dalam memecahkan masalah dan bekerja.pembelajaran lebih sedikit untuk mengatur
alih pengetahuan dan lebih banyak untuk mengatur suatu konstruksi pengetahuan,
keterampilan dan pengembangan kemampuan. Tujuan utama pembelajaran adalah
pemecahan masalah, bukan seberapa banyak epengateahuan yang diperoleh dan
diingat siswa.
Dalam
pandangan konstruktivis, ‘strategi memperoleh’ lebih diutamakan dibandingkan
seberaapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetajhuan. Untiuk itu tugas
guru adakalah memfasilitasi proses tersebut dengan:
(1) Menjadikan
pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa
(2) Member
kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan
(3) Menyadarkan
siswa agar menerapkna strategi mereka sendiri dalam belajar (Nurhadi, 2002:11).
Jika
dikaitkan dengan pendekatan pembelajaran kontekstual maka konstruktivisme
merupakan landasarn berfikir (filosofi)
pendejkatan CTL yang nmenekankan Bahwa pengetahuan bukanlah seperangkat
fakta-fakta , konsep, atau kaidah yang siap untkuk diambil dan diingat melainkn
harus dibangun (dikonstruk) oleh manusia dan diberi makna melalui pengalaman
nyata.
4) Tujuan
Pendekatan Pembelajaran Kontekstual
Suryanto
(2002:21) menjelaskan bahwa pembelajaran kontekstual semula dikembangkan dengan
tujuan untuk menyelaraskan pelajaran matematika di sekolah dengan kebutuhan
suiswa di kemudian hari jika bekerja. Oleh karena itu pembelajaran kontekstual
diselenggarakan dengan menggunakan berbagai masalahkontekstual, baik konteks
sekolah maupun konteks luar sekolah, terutama konteks dunia kerja.
Dengan
kata lain pembelajaran kontekstual dirancang agar sekolah benar-benar
menyiapkan siswanya untuk terjun di masyarakat. Pembelajaran kontekstual juga
dirancang untuk memungkinkan diadakannya kerjasama antara sekolah dengan
dunuian kerja, sehinngga siswa dapat belajar nmemecahkan maslah dalam setting
nyata.
5) Ciri-ciri
Pembelajaran NMatematika yang Menggunakan Pendekatan Komntekstual
Menurut
Suryanto (2002:22) cirri-ciri penmbeklajaran kontekstual yang menggunakan
pendekatan pembelajaran kontekstual adalah sebagai berikut:
a) Berbasis
nmasalah. Artinya pembelajaran dimuali dengan menghadapkan siswa kepada masalah
matematika yang kontekstual, yang merupakan masalah simulasi atau masalah dunia
nyata. Masalah-lasalah matematian itu dapat disajikan dalam bahasa biasa atau
cerita, atau model (gambar, grafik, table, dll). Pada pembelajaran matematika secara
mekanistik, masalah atau soal-soal kontekstual juga kadang digunakan dalam
pembelajaran namun biasanya hanya pada bagian akhir pembelajaran sebagai
soal-soal penerapan dari materi matematika yang dipelajari. Sementara pada
pembnelajaran matematika yang kontekstual masalah atau soal-soal kontekstual
digunakan sebahagai sumber awal pemunculan konsep sekalihgus sebagai objek
penerapn matematika. Pemberian masakah pada proses awal pembelajaran ini
diharapkan dapat membuat siswa aktif berfikir, sejak awal siswa diharapkan
menemukan cara sekaligus pemahaman tentang konsep atau prinsip matematika yang
dipelajari. Dengan demikian guru menyadari dan siap bahwa terdapat beraneka
ragam cara pemecahan masalah yang dilakukan siswa, dengan berusaha memecahkan
masalah siswa melibatkan kegiatan berfikir tingkat tinggi. Peranan guru sebagai
fasilitator.
b) Pembelajaran
matematika yang kontekstual menggunakan konteks ganda, artinya pembelajaran
matematika yang kontekstual melibatkan masalah yang memiliki beberapa tautan,
misalnya konsep matematika yang dipelajari bertautan dengan konsep matematika
sebelumnay, konsep matematika bertautan dengan pelajaran lain, konsep, fakta,
prinsip matematika bertautan dengan pengalaman sehatri-hari. Dengan pengalaman
memecahkan maslah konteks ganda siswa akan memperoleh pengetahuan matematika
yang dapat digunakan dalam berbagai situasi.
c) Membangkitkan
keteraturan belajar. Artinya dengan menghadapi bermacam-macam masalah
kontekstual siswa menjadi terbaiasa untuk menyadari bagaimana cara berfikir
yang efektif, terbiasa menggunakan berbagai strategi dalam memecahkan masalah
dan terus menerus termotivasi untuk belajar.
d) Siswa
menjadi bagian dari konteks . artinya beberapa masalah kontekstual yang
dipilihkan oleh guru berkaitan dengan pengalaman siswa, atau keluargaa siswa,
atau kelompok siswa, atau tempat siswa itu belajar.
e) Belajar
dalam konteks social. Artinya dalam memecahkanmaslah suiswa berinteraksi dengan
sesame siswa atau orang laoin di tempat memecahkan masalah itu, dalam bentuk
diskusi tentang masalah, cara pemecahan masalah dan hasil pemecahan masalah
itu.
f) Menggunakan
penilaian authentic. Artinya mengutamakan penilaian hasil belajar dengan
menggunakan tugas-tugas.
Selanjutnya penulis sajikan table
perbedaan pendekatan pembelajaran kontekstual dengan pendekatan konvensional
sebagai berikut;
Tabel 3
Perbedaan Pendekatan
pembelajaran kontekstual dengan Konvenional
No
|
Pendekatan
Kontekstual
|
Pendekatan
Konvensional
|
1
|
Siswa secara aktif
terlibat dalam proses pembelajaran
|
Siswa adalah penerima
informasi secara pasif
|
2
|
Siswa belajar dari
teman melalui kerja kelompok, diskusi, saling mengoreksi
|
Siswa belajar dari
guru secara individual
|
3
|
Pembelajaran
dikaitkan dengan kehidupan nyata dan atau masalah yang disimilasikan
|
Pembelajaran sangat
abstrak dan teoritis.
|
4
|
Perilaku dibangun
atas kesadaran sendiri
|
Perilaku dibangun
atas kebiasaan
|
5
|
Keterampilan
dikembangkan atas dasar pemahaman
|
Keterampilan atas
dasar latihan
|
6
|
Bahan diajarkan
dengan pendekatan koumunikatif, yakni siswa diajak menggunakan bahasa dalam
konteks yang nyata
|
Bahasa diajarkan
dengan pendekatan structural:rumus diterangkan sampai faham kemudian
dilatihkan (drill)
|
7
|
Pemahaman rumus
dikembangkan atas dasar schemata yang sudah ada dalam diri siswa
|
Rumus itu ada di luar
diri siswa yang harus diterangkan ., diterima, dihafalkan, dan dilatihkan
|
8
|
Pemahaman rumus itu
relative berbeda antara siswa yang satu dengan yang lainnya, sesuai dengan
schemata siswa(on going process of development)
|
Rumus adalah
kebenaran absolute (sama unuk semua orang) . hanya ada dua kemungkinan yaitu
pemahaman rumus yang salah atau pemahaman rumus yang benar
|
9
|
Siswa menggunakan
kemamuan berpikir kritis, terlibat penuh dlam mengupayakan terjadinya proses
pembelajaran yang efektif, ikut bertanggungjawab atas terjadinya proses
opembelajaran yang efektif, dan membawa schemata masing-masing ke dalam
proses pembelajaran
|
Siswa secara pasif
menerima rumus atau kaidah (membaca, mendengarkan, mencatat, menghafal) tanpa
memberikan kontribusi ide dalam proses pembelajaran.
|
10
|
Pengetahuan yang
dimiliki manusia dikembangkan ioleh manusia itu sendiri. Manusia mencioptakan
ataumemberi arti dan memahami pengalamannya
|
Pengetahuan adalah
penamngkapan terhadap serangkaian fakta, konsep, atau hokum yang berada di
luar diri manusia.
|
11
|
Siswa diminta
bertanggungjawab memonitor dan pengembangkan pembelajaran mereka
masing-masing
|
Guru adlaha penentu
jalannya proses pembelajaran
|
12
|
Karena ilmu
pengetahuan itu dikembangkan oleh manusia itu sendiri sementara manusia
selalu mengalami peristiwa baru, maka pengetahuan itu tidak pernah bersifat
stabil, selalu berkembang.
|
Kebenaran bersifat
absolute dan pengetahuan bersifat final
|
13
|
Penghargaan terhadap
pengalaman siswa sangat ditutamakan
|
Pembelajaran tidak
memperhatikan pengalaman siswa
|
14
|
Hasil belajar diukur
dengan berbagai cara: proses bekerja, hasil karya, rekaman,tes, dan lain-lain
|
Hasil belajar hanya
diukur dengan tes
|
15
|
Pembelajaran terjadi
di berbagai tempat, konteks, dan setting.
|
Pembelajaran hanya
terjadi di dalam kelas.
|
Sumber : Nurhadi (2002:7-9)
Dari uraian diatas dpat diambil
pengertian bahwa dalam pembelajaran yang kontekstual dimualai dengan mengaitkan
materi pembelajaran dengan masalah kehidupan nyata suswa sehari-hari atau
masalah yang disimulasikan.masalah atu soal-soal kontekstual digunakan
sebagaisumberawal pemunculan konsep sekaligus sebagai objek penerapan
matematika.pemberian maslaah pada proses awal pembelajarn ini diharapkan dpaat
membuat sisw a aktif berfikir, sejak awal siswa diharapkan menemukan cara
sekaligus pemahaman tentang konsep aatau prinsip matematkika yang dipelajari.
Masalah kontekstual yang dipilihkan oleh guru berkaitan dengan pengalaman
siswa, atau keluarga siswq, kelompok siswa, tempat beljatar siswa. Dalam
memecahkan masalah, siswa berinteraksi dengasn sesame siswa atau orang lain
ditempat memecahkakan masalah itu., dalam bentuk diskusi tentang masalah, cara
pemecahan masalah, dan hasil pemecahan masalah itu. Penilaian hasil belajar
siswa diukur dengan berbagai cara: proses bekerja, hasil karya, diskusi,
presentasi, rekaman, tugas, tes dan lain-lain.
6)
Komponen-komponen
dala Pendekatan Pembelajaran Kontekstual
Menurut
Crawford (2001:3) komponen-komponen dalam pendekatan pembelajaran kontekstual
terdapat lima komponen yaitu relating,
experiencing, applying, cooperating, dan transferring. Menurut Johnson (2002:24) the CTL system encompasses the
following eight components : 1) makingmeaningful connections, 2) doing
significant work, 3) self-regulated learning, 4) collaborating , 5) critical
and creative thingking, 6) nurturingthe individual , 7) reaching high students,
8) using authentic assessment. Sedangkan menurut Nurhadi (2002:10) pendekatan
CTL memiliki tujuh komponen utana yaitu: konstruktivisme (constructivism), menemukan (inquiry), nbertanya ( questioning),
masarakat belajar ( learning community), pemodelan, (modeling) refleksi
(reflection) dan penilaian yang sebenarnya, (authentic assessment)
Dari
ketiga pendapat tersebut dapat disarikan adanya 10 komponen pendekatan
pembelajaran kontekstual sebagai berikut:
a) Relating
(keterkaitan, relevansi)
Proses
pembnelajaran matematika hendaknya berkaitan dengan pengetahuan yang telah ada
pada diri sisa . relevanantar factor internal seperti bekal pengetahuan,
keterampilan, bakat minat dan factor eksternal seperti ekspose media dan
lingkungan luar. Menurrut Masnur Muslich (2007:41) relating adalah bentuk
beljara dalam kehidupan nyata atau pengalaman nyata, pembelajaran harus
digunakan untuk menghubungkan situasi sehari-hari dengan informasi baru untuk
dipahami atau dengan problema untuk dipecahkan.
b) Experiencing
(pengalaman langsung)
Relating
menghubungkan informasi baru dengan pengalaman atau pengetahuan awal yang
dibawa siswa ke dalam kelas. Strategi ini tidak mungkin dilaksanakan jika siswa
tidak mempunyai bekal awal yang relevan. Guru dapat mengatasi hambatan ini
dengan membantu siswa mengkonstruksi pengetahuan baru dengan pengalamanb
langsung yang disusun bersama di dalam kelas. Strategi ini disebut
experiencing. Pengalaman langsung yang terjadi dalam kelas dapatmeliputi
manpipulasi, aktivitas pemecahan maslaha dan laboratorium. . manipulasi adalah
objek-objek sederhana yang digunakan siswa untuk menunjukkan konsep-konsep
abstrak secara konkrit. Misalnya model Pythagoras menunjukkan dalam segitiga
siku-siku “kuadrat sisi miring sama dengan jumlah kaudrat sisi siku-sikunya”.
Pemecahan masalah merupakan aktivitas terbaik dalam mengenalkan konsep-konsep
kunci., karena muncul secara alami dalam situasi masalah. Ini memungkinkan
siswa melihat kebutuhan atau alas an untuk menggunakan konsep baru tersebut.
Dalam matematika, definisi dan prosedur pemecahannya merupakan bagian ddari
generalisasi. Menngeneralisasi pengalaman atau informasi spesifik adalah
langkah kunci dalam belajar.aktivitas laboratorium ini biasanya lebih lama dan
membutuhkan perencanaan yang lebih dibandingkan aktivitas pemecahan masalah. Di
dalam laboratorium siswa bekerja dalam kelompok kecil iuntuk mengumpulkan data
dengan membuat pengukuran menganalisis data, membuat kesimpulan, memprediksi
dan merefleksi konsep-konsep fundamental yang tercalkup dalam aktivitas
tersebut. Prosesi dalam belajar biasanya konkrit ke abstrak. Orang muda dapat
belajar dengan lebih siap mengenai sesuatu yang berarti dan dalpat diakses
langsung pada indera mereka. Dengan pengalaman mereka tumbuh dalam kemampuan
mereka untuk memahami konsep abstrak, memanipulasi symbol, beralasan logis, dan
menggeneralisasi (Crowford , 2001: 5-6)
c)
Applying
(penerapan)
Crowford (2001:8) memberikan batasan
tentang applying sebagai berikut:
We define the applying strategy as
learning by putting the concepts to use. Obviously, students apply concepts
when are engaged in hands-on problem-solving activites and projects like thosw
described above. Teachers also can motivate a need for understanding the concepts
by assigning realistic and relevant exercises.
Dari batasan tersebut dapat diambil
pengertian bahwa strategi applying merupakan strategi belajar denga cara
menerapkan konsep untuk digunakan daklam kehgiatan pemecahan masalah yang
sedang dihadapi. Dalam kenyataannya, siswa menerapkan konsep ketika mereka
terlibat langsung dalam pemecahan masalah. Guru juga dapat memotvasi syuatu
kebutuhan untuk memahami suatu konsep dengan cara memberikan tugas latihan yang
relaistis dan sesuai.
Menerapkan fakta, konsep, prinsip
matematika dan prosedur yang dipelajari dalam situasi dan konteks yang bernbeda
merupakan pembelajaran toingkat tinggi, lebih daripada sekedar hafalan.
Pengalaman serta kemampuan siswa menerapkan materi yang telah dipelajari untuk
digunakan pada situasi lain yang berbedabernanfaat sebagai pendorong atau
motivasi siswa untuk memikirkan karir dan pekerjaan dimasa depan yang mereka
minati.
d)
Cooperating
(bekerjasama)
Banyak latihan pemecahan masalah
matematika, terutama yang meliputi situasi yang realistic, nbersifat kompleks.
Siswa yang bekerja secara individual kadang-kadang tidak dapat membuat kemajuan
yang ebrarti. Mereka dapat menjadi frustasi kecuali jika guru menyediakan
bimbingan langkah-langkah demi alngkah. Sebaliknya siswa uyang bekerja dalam
kelompok kecil sering dapat mengatasi permasalahan yang kompleks dengan sedikit
bantuan guru,. Menurut Slavin (1995:2) pembelajaran kooperatif meniunjuk pada
berbagai metode pembelajaran dimana siswa bekerja dalam kelompok atau grup
kecil untuk membantu satu sama lain mempelajarai materi pelajaran. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatiuf dapat meningkat kan
kesuksesan siswa, meningkatkan hubungan intergroup, penerimaan terhadapa teman
sekelas yang cacxat jasmani, meningkatkan percaya diri, meningkatkan berpikir
untuk memecahkan masalah, untuk mengitegrasikan dan menerapkan ilmu pengetahuan
dan keterampilan. Menurut Johnson & Johnson (Crowford, 2001: 12) elemen
dasar cooperative learening adalah :
(1)
Menyusun
saling ketergantungan yang positif dalam kelompok belajar. Saling
ketergantungan yang positif maksudnya siswa merasa dirinya tidak dapat berhasil
kecuali kalau semua anggota kelompok berhasil. Guru menciptakan saling
ketergantungan positif denga meyakinkan siswa
bahwabelajar atayu keguatan yang dilakukan memiliki tujuan yang sama dan
penghargaan membuat siswa tergantung pada siswa lain sebagai sumber daya ,
memberikan peran pada masing-masing siswa dalam satu kelompok dan meyakinkan
bahwa tugas terbagi sama rata.
(2)
Membuat
siswa berinteraksi selama menyelesaikan tugas dan yakin bahwa interaksi sesuai
dengan tugas. Interaksi meliputi bantuan dan dorongan antar siswa, penjelasan
dan strategi pemecahan masaklah serta diskusi mengenai pendapat lain yang
berkaitan dengan tugas.
(3)
Membuat
siswa bertanggungjawab secara individual untuk menyelesaikan tugas.
(4)
Membiarkan
siswa mbelajar menggunakan keterampilan interpersonal dan kelompok kecil.
Keterampilan ini meliputi kepemimpinan, pembuatan keputusan, membangun
kepercayaan, komunikasi, dan manajemen konflik.kelompok-kelompok belajar
mendiskusikan bagaimana menfiungsikan kelompok dengan baik.
e)
Transferring.
Dalam pembelajara tradisional, peran
guru adalah menyampaikan fakta, konsep, prinsip matematika dan prosedur
pengerjaannya,sedsang peran siswa adalah mengingat fakta, konsep, prinsip
matematika dan mempraktekkan prosedur sesuai dengan yang diajarkan guru.siswa
yang dapat mengingat kembali dan mengulang kembali fakta-fakta dan prosedur
yang sesuai mendapat skor yang baik pada tes formatif atau tes akhir semester.
Sebaliknya dalam kelas kontekstual, peran guru diperluas meliputiprnciptaan
berbagai pengalaman belajar dengan focus pemahaman bukan pengingatan. Dalam
pembelajaran guru berperen sevagai fasiliytator. Siswa yang belajar dengan
pemahaman dapat belajar untuk menstransfer pengetahuan . siswa dapoat
menmggunakan pengetahuan yang baru dipealajrai untuk memecahkan masalah dalam
konteks yang berbeda. Transferring adalah
strategi pembelajaran yang didefinisikan sebagai penggunaan pengetahuan
dalam konteks yang baru atau situasi baru yang tidak ditejuukan di keolas
(Crowford, 2001:13-14) Misalnya ketika siswa mempelajari keliling lingkaran,
diberi masalah sebuah sepede roda depan memiliki jari-jari lebih panjang dari
pada rode belakang. Roda depan atau roda belakangkah yang elebih epat berputar?
i)
Inquiry
(menemukan)
Menurut Nurhadi
(2002:12) pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan
hasil mengingat seperangkat fakta, tetapi hasil dari menemulkan sendiri. Guru
harus merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi
yang diajarhakan,
Dari pengertian
tersebut prinsip-prinsip yang bias dipegang guru ketika menerapkan komponen
inquiry dalam pembelajaran sebagai berikut:
(1)
Pengetahuan
dan keterampilan akan lebih lama diingat apabila siswa menemukan sendiri
(2)
Informasi
yang diperoleh siswa akan lebih mantap apabila diikuti dengan bukti-bukti atau
data yang ditemmukan sendir I oleh siswa.
(3)
Siklus
inquiry adalah observasi (observation) , bertanya9 questioning), mengajukan dugaan
(hipotessis), pengumpulan data ( data gathering), dan penyimpulan (conclusion).
(4)
Langkah-langka
kegiatan Inquiry adalah : (a) merumuskan masalah, (b) mengamati atau melakukan
observasi, (c) menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan,
bagan, table, dan karya lain, (d) mengomiunikasikan atau menyajikan hasilnya
pada pihak lain (pembaca, teman sekelas, guru, audiens yang lain). (Masnur
Muslich, 2007:45)
g )
Questioning (bertanya)
bertanya dalam
ppembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan
menilai kemampouan berpikir siswa. Bagi siswa kegiatan bertanya merupakan
bagian penting dalam melaksanakan pembbelajaran yang berbasis Inquiry , yaitu
menggali informasi, mengkorfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan
perhatian pada aspek yang belum diketahui (Nurhadi, 2002:14)
prinsip-prinsip
yang perlu diperhatikan guru dalam pembelajaran berkaitan dengan komponen
bertanya adalah:
(1)
Penggalian
informasi elebih efektif apabila dilakukan melalui bertanya.
(2)
Konfirmasi
terhadap apa yang sudah diketahui lebih efektif dengan Tanya jawab.
(3)
Dalam
rangka penambahan aytau pemantapan pemahaman lebih efektif dilakukan lewat
diskusi (bauik kelompok mauoun kelas).
(4)
Bagi
guru, bertanya kepada siswa bias endorong membimbinhg dan menilai kemampuan
berpikir siswa.
(5)
Dalam
pembelajaran yang produtif, kegiatan bertanya berguna untuk (a) menggali
informasi, (b) mengecek pemahaman siwa, (c) memnbangkitkan respons siswa, (d)
mengetahui kadar keingintahuan siswa, (e) mengetahui hal-hal yang diketahui
siswa, (f) memfokuskan perhatian siswa pada swesuatu yang dikehendaki guru, (g)
membangkitkan lebih banyak pertanyaan bagi gdiri siswa, dan (h) menyegarkan
pengetahuan siswa (Masnur Muslich, 2007: 45).
g)
Modelling (Pemodelan)
Komponen CTL
selanjtnya adalah pemodelan . maksudnya dalam proses pembelajaran ada model
yang bidsa ditiru (Nurhadi, 202: 16). Model itu bias berupa cara mengoperasikan
susuatu, cara melukis mengggunakan jangka, contoh karya tulis. Guru memberikan
comntoh cara mengoperasikan bilanga dengan menggunakan mistar hitung, member
contoh cara menulis rapi, cara menggunakan meteran panjang. Guru membantu siswa
merencanakan dan penyiapkan bahan presentase di depan kelas dan sebagainya.
Dapat juga sisw adiajak keluar kelas untuk melihat pegawai bangunan yang sedang
memasang tegel atau keramik di halaman kelas.
Prinsip-prinsip
komponen modeling yang bias diperhatikan guru ketika melaksanakan pembelajaran
adalah sebagai berikut:
(1)
Pengetahuan
dan eterampilan diperoleh dengan mantap apabila model atau contoh yang g bidsa
ditiru
(2)
Model
atau contoh bias diperoleh langsung dari yang berkompeten atau dari ahlinya
(3)
Model
atau contoh bias berupa cara mengoperasikan sesuatu, contoh hasil karya,atau
miodel pemnampilan (Masnur Muslich, 2007: 46)
h)
Reflection
(Refleksi)
Menurut Nurhadi
(2002: 18) refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari aytau
berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan dimasa lang lalu.
Siswa mengendapkan apa yang baru saja dipelajarinya sebagai struktur
pengetahuan yang baru. Yang merupakan poengayaan atau revisi dari pengetahuan
sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau
pengetahuan yang baru diterima. Pada akhir pembelajaran guru menyisakan waktu
sejenak agar siswa melakukan refleksi.guru dapat menbantu siswa menganakisis
dan mengevaluasi proses berpikir mereka senrdiri. Guru dapat melakukan reflwksi
untuk mengetahui pemahaman suswa terhadap materi yang baru dipelajari dengan
mengajukan pertanyaan di akhir pelajaran.
Menurut Masnur
Muslich (2007: 47)prinsip-prinsip dasar tyang perlu diperhatikan guru dslam
rangka merapkan komponen refleksi adalah sebagai berikut:
(1)
Perenungan
atas sesuatu pengetahuan yang baru sdiperoleh merupakan pengayaan atas
pengetahuan sebelumnya
(2)
Perenungan
merupakan responsatas kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru
diperolehnya.
(3)
Perenungan
bias berupa menyampaikan penilaian atas pengetahuan yany baru diterima ,
membuat catatan singkat, diskusi dengan teman sejawat, atau unjuk kerja.
i)
Authentic
Assesment (Penilaian yang sebenarnya)
Schell(2001: 16)
memberikan penjelasan sebagai berikut:
Contectual
teaching employees assessment which is derived from multiple sources and is
on-going and blended with instruction. The multiple sources of evidence of
learning are collected over time and in multiple contexts and provide students
with opportunities for practice and feedback.
Komponen yang
merupakan cirri khusus dari pendekatan kontekstual adalah proses pengumpulan
berbagai data yang bias memberikan gambaran atau informasi tentang perkembangan
pengalaman belajar siwa. Gambara perkembangan pengalaman siswa ini perlu
diketahui guru setiap saat agar bias memastikan benar tidaknya proses belajar
siswa. Dengan demikian penilaian autentik diarakhkan pada proses mengamati,
menganalisis, dan menafsirkan data yang telah terkiumpul ketika atau dalam
proses pembelajaran siswa berlangsung, bukan semata-mata pada hasil
pembelajaran.
Prinsip dasar
yang perlu menjadi perhatian guru ketika menerapkan komponen penilaian autentik
dalam pembelajaran adaah:
a)
Penilaian
authentic bukan menghakimi siswa, tetapi untuk mengetahui perkembangan
pengalaman belajar ssiswa.
b)
Penilaian
dilakukan secara komprehensif dan seimbang amntara penialain proses dan hasil
c)
Guru
menjadi penilai yang konstruktif (constructive evaluators) yang dapat
merefleksi bagaimana siswa belajar, bagaimana siswa menghubungkan apa yang
mereka ketahui dengan berbagai konteks, dan bagaimana perkembangan belajar
siswa dalam berbagai konteks belajar.
d)
Penilaian
autentik memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat mengembangkan epnilaian
diri (self assessment) dan pemnialian sesame ( peer assessment)
e)
Penialian
autentik mengukur ketermapilan dan performansi dengan criteria yang jelas
(performance-based)
f)
Penilaian
authentic dilakukan dengan berbagai alat secara berkesanmbungan sebagai bagian
integral dari proses pembelajara,.
g)
Penilaian
autentik dapat dimanfaatkan oleh siswa, orangtua, dan sekolah untuk
mendiaknosis kesulitan belajar siswa, umpan balik pembelajaran, dan/atau untuk
menentuakan prestasui siswa )(Masnur Muslich , 2007: 47-48)
Dari uraian
diatas dapat diambil suatu benang merah bahwa pendekatan pembelajaran
kontekstual membantu siswa menemukan makna belajar mereka dengancara
menghubungkan materi pembelajaran dengan konteks kehidupan sehari-hari mereka.
Para siswa membuat hubungan-hubungan penting yang menghasilkan makna
denganmelaksanakan pembelajaran yang diatur sendiri, bekerjasama dalam
kelompok, berpikir kritis dan kreatif, menghargai orang lain, mencapai standar
tinggi, dan berperan seerta dalam tugas-tugas penilaian autentick.
d.
Pembelajaran
Kooperatif Model Jigsaw.
Pembelajaran
kooperatif adalah proses pembelajaran yang memanfaatkan kerja kelompok sebagai cara belajar,. Pengelompokkan
pebelajar dilakukan dengan membepertimbangkan kemampuan masing-masing
pebelajar. Menurut Muhammad Nur (2005: 1 -2 ) pembelajaran kooperatif merupakan
teknik-teknik kelas praktis yang dapat digunakan guru setiap hari membantu
siswanya belajar setiap mata pelajaran dinmuali dari keterampilan-keterampilan
dasar sampai pemecahan masalah yang kompleks. Model pembelajaran kooperatif
akan menjawab pertanyaan – pertanyaan sebagai berikut:
1)
Bagaimana
guru dapat memotivasi siswa untuk belajar dan membantu saloing belajar satu
sama lain
2)
Bagaimana
guru dapat menyusun kegiatan kelas sedemikaian rup asehingga siswa akan
berdiskusi, berdebat, dan menggeluti ide-ide, konsep-konsep, dan
ketrampilan-keterampilan sehingga mereka akan memahami ide, konsep, dan
keterampilan tersebut?
3)
Bagaimana
guru dapayt memanfaatkan energy social seluruh rentang usia siswa yang begitu
besar di dalam kelas untuk kegiatan pembelajaran pruduktif
4)
Bagaimana
guru mengorganisasikan kelas sehingga siswa saling menjaga satu sama lain,
saling mengambil langgungjawab satu sama lain, dan belajar untuk menghargai
satu sama lain terlepas dari suku, tingkat kinerja atau ketidakmampuan karena
cacat?
Salah satu model
cooperative learning adalah model Jigsaw. Dalam Wordpress) 2008: 1) dijelaskan
bahwa pembelajaran kooperatif model Jigsaw pertama kali dikembangkan oleh
Elliot Aronson di Universitas Texas yang diilhami dari permainan puzzle Jigsaw.
Model ini sangat cocok untuk melakukan eksplanasi materi pelajaran dengan
memanfaattkan tingkat kemampuan peserta didik yang berbeda antar satu dengan
yang lain. Pembelajaran Kooperatif model Jgsaw merupakan model pembelajaran
kooperatif dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4 sampai
dengan 5 orang dengan memperhatikan keheterogenan., bekerja sama positif dan
setiap anggota bertanggungjawab untuk mempelajari masalah tertentu dari materi
yang diberikan dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok lain.
Keunggungan pembelajaran kooperatif model Jigsaw adalah meningkatkan rasa
tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannnya sendiri dan juga opembelajaran
orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka
harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut kepada anggota
kelompoknya yang lain. Meningkatkan kerjasama secara kooperatif
untukmmepelajari materi yang ditugaskan. Dalam pembelajaran kooperatif model
Jigsaw, terdapat kelompok ahli dan kelompok asal. Kelompok asal adalah kelompok
awal siswa terdiri dari beberapa anggota kelompok ahli yang dibentuk dengan
memperhtikan keragaman dan latar belakang. Guru harus terampil dan mengetahui
latar belakang siswa agar tercipta suasana baik bagi setiap anggota kelompok.
Sedangkan kelompok ahli yaiytu kelompok siswa yang terdir anggota kelompok lain
(kelompok asal) yang ditugaskan untuk
mendalami topic tertentu kemusidian dijelaskan kepada anggota kelompok asal.
Para anggota sdari kelompok asal yang berbeda, bertemu dengan topic yang sama
dalam kelompok ahli untuk berdiskusi dan membahas materi yang ditugaskan pada
masing-masing amnggota kelompok serta membantu satu sama lain untuk mempelajari
topic mereka tersebut. Disini peran guru adalah memgfasilitasi dan memotivasi
para anggota kelompok ahli agar mudah untuk memahami materi yang diberikan.
Setrelah pembehasan selesai, para anggota kelompok kemudian kembali ke kelompok
asal dan mengajarkan opada teman sekelompoknya apa yang telah mereka dapatkan
padasaat pertemuan di kelompok ahli. Para kelompok ahli haryus mampu membagi
pengetahuan yang ia dapatkan saat melakukan diskusi di kelompok ahli, sehingga
pengetahuan tersebut diterima oleh setiap anggota pada kelompok asal.konci
model Jigsaw ini adalah interdependence setiap siswa terhadap anggota tim yang
memberikan informasi yang diperlukan. Artinya para siswa harus memiliki
tanggung jawab dan kerja sama yang positif dan saling ketergantungan untuk
mendapatkan informasi dan memecahkan masalah yang diberikan.
4.
Hasil
Belajar Matematika
Mata pelajaran
matematika berfungsi untuk mengembangkan kemampuan menghitung, mengukur, menurunkan,
menggunakan rumus matematika untuk memecahkan masalah, mengkomunikasikan
gagasan melalui grafik, peta, diagram atau lisan/kalimat. Aspek yang donimann
meliputi aspek pengetahuan/kognitif dan sikap/afektif. Aspepek
pengetahuan/kognitif mencakup: pemahaman terhadap konsep, prosedur/proses
menghitung, dan kemampuan penalaran dan pemecahan masalah. Aspek
praktik/psikomotor pada mata pelajaran
matematika kurang dominan, karena hanya sebagian kecil KD yang dapat dinliai
prakteknya seprti : menggambar, mengukur ruang/sudut, penggunaan peralatan,
seperti kalkulator, computer alat peraga atau media lain hanya untuk
meningkatkan keefektifan pembelajaran. Yang penilaiannya terintegrasi/terpadu
dalanm siaspek kokgnitif. Aspek sikap/afektif yang terkait dengan mata
pelajaran matematika menitikberatkan pada sikap ilmiah yang mencakup
:keterlitian, ketekunan, dan mampu memecahkan masalah secara logis dan
sistematids (Depdiknas, 2006:10-11)
Dari uraian
diatas dapat difaphami bahwa hasil belajar matematika yang dominan adalah hasil
belajar aspek afektif dan kognitif.
B. Penelitian yang Relevan
Beberapa
hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini yang peneliti rangkum
antara lain:
1. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh I Gede Nengah Dwi Suryaningsih (2004:ii) tentang
upaya peningkatan prestasi belajar matematika SMP melalui pendekatan
kontekstual di SMP Negeri 1 Imogiri Bantul menunjukkan adanya peningkatan
prestasi belajar meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Pada siklus
pertama hanya 6 komponen CTL yaitu relating,
experiencing, applying, cooperating,
inquiry, dan modeling dalam
kategori baik dengan 40% siswa mencapai
batas ketuntasan yang ditentukan yaitu
skor minimal 70, kemudian pada siklus
kedua dengan mempertahankan komponen CTL yang sudah baik, dapat menambah 3
komponen CTL berkategori baik yaitu questioning,
reflection dan authentic assessment dengan 37 siswa atau 92,25 % mencapai batas ketuntasan. Satu komponen CTL
yang sulit bagi siswa adalah transferring.
Pendekatan kontekstual dalam pembelajaran matematika pada siswa kelas I SMP
dapat dilakukan dengan cara menerapkan 10 komponen CTL.
2. Hasil
penelitian Siti Sri Jayati (2005:ii) tentang upaya peningkatan kompetensi
menulis wacana eksposisi dan argumentasi siswa kelas II SMP negeri 1 Pleret
dengan pendekatan kontekstual menunjukkan upaya peningkatan kompetensi menulis
eksposisi (ME) dan menulis argumenntasi (MA) siswa kelas II SMP Negeri 1 Pleret
dapat dilakukan dengan pendekatan pembelajaran kontekstual. Penerapan
pendekatan pembelajaran kontekstual dalam meningkatkan kompetensi ME dilakukan
dengan menerapkan , memvariasikan wujud pengelolaan kelas, strategi pendukung
pendekatan tersebut (CBSA). Belajar kooperatif, belajar berbasis masalah,
pembelajaran autentik , tujuh elemennya (bertanya, inkuiri, masarakat belajar,
pemodelan, penilaian autentik, konstruktivisme, refleksi) dan media penerapan
pendekatan pembelajarankontekstual dalam meningkatkan kompetensi MA dilakukan
dengan mengubah teknik pengelolaan kelas berupa pembaharuan anggota kelompok,
perubahan posisi duduk, penekanan kerja mandiri dalam masyarakatbelajar, dan
media.
3. Hasil
penelitian Yuli Karyanti (2005:ii) tentang upaya peningkatan prestasi belajar
bahasa Jawa melalui kreativitas guru dalam penmbelajaran dengan pendekatan
pembelajaran kontekstual menunjukkan bahwa prestasi belajar Bahasa Jawa siswa
SMP Negeri 1 Pleret dapat meningkat melalui kreativitas guru dalam pembelajaran
Bahasa Jawa dengan pendekatan pembelajaran kontekstual. Berdasarkan data
prestasi siswa, nilai siswa mengalami peningkatan pada setiap siklus. Dari 40
siswa yang memperoleh nilai lebih dari 6 pada pretes sebanyak 18 siswa (45%),
pada siklus 1 ada 20 siswa (50%) , pada siklus 2 ada 22 siswa (55%) pada siklus
3 ada 24 siswa (60%), dan pada postes ada 27 siswa (67,5%). Nilai rata-rata
yang diperioleh siswa sebelum tindakan yaitu, 5, 7125, akhir siklus 1 sebesar
5,99125, akhir siklus 2 siebesar 6,15875, akhir siklus 3 sebesar 6,5625, dan
nilai rata-rata pada postes sebesar 6,66875.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut
disimpulkan bahwa …………………………………………..
C. Kerangka Fikir
Paradigma
tentang kelas tidak hanya milik guru semata kiranya perlu dikembangkan. Kelas
yang hanya berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian metode
ceramah menjadi pilihan utama strategi pembelajaran, menjadikan siswa cenderung
pasif. Ketika pembelajaran hanya satu arah maka yang terjadi adalah sebatas
transfer materi yang menjadikan siswa hanya sebatas menghafal fakta-fakta.
Padahal pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta. konsep atau kaidah yang
siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus
mengkonstruksi atau menemukan pengetahuan itu dan memberi makna melalui
pengalaman nyata, dengan kata lain pembelajaran harus dikemas menjadi proses
mengkonstruksi atau menemukan, bukan menerima pengetahuan. Dalam proses
pembelajaran siswa membangun atau menemukan sendiri pengetahuan mereka melalui
keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran,
bukan guru yang menjadi pusat kegiatan, tetapi siswalah yang menjadi
pusat kegiatan.
Belajar
bermakna adalah di saat siswa merasakan keterlibatan secara aktif dalam proses
pembelajaran. Siswa merasakan bahwa belajar adalah sesuatu yang menyenangkan
dan memiliki manfaat untuk kehidupan kelak. Sehingga lahir kesadaran untuk
berupaya menggapainya. Hal tersebut dapat terwujud manakala dalam proses
pembelajaran ada sinkronisasi antara teori yang dipelajari dengan pemecahan
masalah kehiduapan nyata yang ia alami.
Proses
belajar tidak hanya menghasilkan perubahan tingkah laku tetapi juga perubahan
emosional, keterampilan sosial. Interaksi sosial pada siswa di dalam kelas
melibatkan setiap individu memiliki sifat bawaan yang beragam karena beragamnya
latar belakang. Keberagaman siswa tersebut juga terlihat pada kemampuan
akademik. Jadi dalam suatu kelas terdapat siswa yang memiliki kemampuan tinggi,
rata-rata atau rendah. Hal ini mengakibatkan adanya perbedaan kecepatan dalam
mengkonstruksi atau menemukan pengetahuan dan menyelesaikan masalah sehingga
berpengaruh pada pencapaian tujuan pembelajaran.
Dalam
pencapaian tujuan pembelajaran matematika SMA guru harus tepat dalam memilih
pendekatan pembelajaran. Penggunaan pendekatan yang kurang tepat dalam
pembelajaran matematika dapat mengakibatkan pembelajaran kurang efektif dan
tujuan pembelajar tidak tercapai sehingga hasil belajar siswa rendah. Agar
siswa aktif berfikir sekaligus memahami konsep dan prinsip matematika sejak
awal pembelajaran, siswa diberi masalah berkonteks kehidupan nyata. Siswa dapat
menyelesaikan masalah yang diberi guru jika masalah tersebut berhubungan dengan
pengetahuan matematika yang telah dimiliki atau
dipelajari siswa. Pembelajaran matematika akan bermakna bagi siswa jika
konsep matematika yang baru berhubungan dengan pengetahuan matematika yang
dimiliki siswa. Dengan sedikit bantuan guru siswa berusaha membangun atau
menemukan konsep matematika yang dipelajari. Setelah siswa menyelesaikan
masalah menurut versi berfikir mereka maka pembelajaran dapat dilanjutkan
dengan klarifikasi penyelesaian masalah secara interaktif antara guru dengan
siswa dan antara siswa dengan siswa. Untuk dapat menanmbah pemahaman, guru
dapat memberikan masalah dalam konteks yang baru yang dapat diselesaikan oleh
siswa dengan materi matematika yang baru dipelajari siswa. Prosedur atau
strategi pengerjaan yang ditemukan siswa, dapat dijadikan model siswa yang
lain.dengan melakukan penilaian yang sebenarnya memberi motivasi siswa untuk
lebih kreatif dan semangat untuk mengerjakan tugas dari guru lebih kreatif dan
semangat baik lagi. Di akhir pembelajaran matematika sangat baik diadakan
refleksi untuk mengetahui tujuan pembelajaran sudah tercapai sesuai dengan
harapan atau tidak. Sedang bagi siswa saat merenung tentang hal-hal yang baru
dipelajari atau berpikir ke belakang tentang hal-hal yang baru dipelajari atau
berpikir kebelakang tentang hal-hal yang telah dilakukan sebelumnya. Siswa
mengendapkan hal-hal yang baru dipelajari sebagai pengetahuan baru yang mungkin
merupakan pengetahuan pengayaan atau revisi terhadap materi matematika yang
telah dimiliki. Caranya antara lain dengan tanya jawab materi yang baru
dipelajari.
Pembelajaran
matematika yang menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual memiliki
sepuluh komponen yang memenuhi kebutuhan siswa seperti tersebut diatas. Jika
sepuluh komponen dalam pendekatan pembelajaran kontekstual diterapkan dalam
pembelajaran matematika maka lebih meningkatkan mutu pembelajaran dan tentunya
meningkatkan hasil belajatr ssiswa baik aspek afektif maupun kognitif.
D. Hipotesis Tindakan
Bertolak
dari kajian teori dan kerangka berpikir tersebut diatas, maka pada PTK ini
diajukan hipotesis tindakan sebagai berikut:
1.
Pembelajaran matematika dengan
pendekatan pembelajaran kontekstual dapat dilakukan dengan menerapkan sepuluh
komponen CTL yaitu relating,
experiencing, inquiry, applying, cooperating, transferring, questioning,
modeling, reflection, dan authentic
assessment.
2. Pembelajaran
matematika dengan pendekatan pembelajaran kontekstual yang menerapkan sepuluh
komponen CTL dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas …. Baik
aspek afektif maupun aspek kognitif.
BAB
III
METODE PENELITIAN
Dalam
metode penelitian ini diuraikan tentang desain penelitian, model penelitian,
pembuatan dan ujicoba instrumen penelitian, pelaksanaan uji coba instrumen
penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.
A.
Desain
Penelitian
Penelitian ini
dilakukan pada siswa SMA ………… yang terdiri dari empat kelas parallel. Sedangkan
yang dipilih sebagai subjek penelitian adalah kelas IX. Hal ini dengan
pertimbangan sebagai berikut:
Pertama,
siswa kelas IX tahun pelajaran 2011/2012 telah melaksanakan kurikulum 2006 .
jumlah 40 siswa yang terdiri dari 24 siswa perempuan, dan16 siswa laki-laki.
Kelas tersebut memiliki karakteristik umum yang dapat mewakili karakteristik
siswa kelas lainnya.
Kedua
, peneliti sekaligus guru kelas IX dan kolaburator guru matematika kelas IX,
mempunyai masalah yang sama yaitu telah merencanakan dalam program
pembelajaraannya untuk menerapkan pendekatan pembelajaran kontekstual, namun
dalam pelaksanaannya belum menemukan cara yang efektif.
Penelitian
ini dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dan mendapat ijin lengkap dari
instansi yang bersangkutan. Observasi awal untuk menemukan keadaan dan
kemampuan siswa terhadap pelajaran matematika di kelas dilaksanakan minggu
ketiga bulan ….
B. Model Penelitian
Dalam
proses penelitian ini dipilih model spiral dari Kemmis & Taggart, yaitu
berupa perangkat- perangkat siklus tindakan dimana satu perangkat terdiri dari
empat komponen, yaitu perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Keempat
komponen yang berupa untaian tersebut dipandang sebagai satu siklus. Siklus ini
diartikan sebagai suatu putaran kegiatan yang terdiri dari perencanaan,
tindakan, pengamatan, dan refleksi. Model tersebut dapat dilihat dalam gambar 2
berikut:
Gambar
2. Proses Penelitian Tndakan model Kemmis& Tagarrt (1992:11)
Keterangan;
1:
Rencana I 5. Rencana hasil
revisi I 9. Rencana
hasil revisi II
2.
Tindakan kelas I 6. Tindakan kelas II 10. Tindakan kelas III
3.
Observasi kelas I 7. Obsrvasi II 11. Observasi III
4.
Refleksi I 8. Refleksi II 12. Refleksi III
13.
dan seterusnya
Penelitian
ini merupakan penelitian tindakan kelas yang berfokus pada upaya untuk mengubah
kondisi riil sekarang kea rah kondisi yang diharapkan. Peneliti yang sekaligus
guru kelas … dan kolaborator mengamati dan mencatat secara cermat dan
sistematik tentang berbagai aspek situasi secara terus menerus emenganalisis
hasil pengamatannya untuk mendapatkan makna.
Dalam
penelitian ini peneliti menggunakan bentuk yang kedua dari dua bentuk
penelitian tindakan , yaitu peneliti sekaligus sebagai guru/praktisi namun
tetap menerapkan pola kerjasama (kolaborasi)nterutama pada kegiatan
mendiagnosis masalah, menyusun usulan, melaksanakan penelitian (melaksanakan
perencanaan, tindakan, pengamatan, merekam data, evaluasi, dan refleksi),
menganalisis data dan menyusun laporan akhir. Untuk ini peneliti berkolaborasi
dengan dua orang guru matematika yang juga mengajar kelas … yaitu Ibu… dan
bapak ….
1. Tahap
persiapan Penelitian Tindakan
Pada
tahap awal peneliti menjajagi keadaan siswa melalui observasi, antara lain
bagaimana gambaran lingkungan kelas, perilaku siswa sehari-hari, dan lingkungan
tempat tinggal siswa, perhatian siswa terhadap pelajaran, kemampuan guru mengajar,
hasil belajar matematikasiswa melalui dokumentasi. Untuk mengetahui kemampuan
dan penguasaan siswa terhadap materi logika matematika, peneliti menggunakan
pretes. Penjajagan keadaan awal sangat diperlukan untuk dijadikan landasan atau
criteria guna mengukur atau mengetahui adanya perubahan dan peningkatan yang
terjadi sebagai akibat dari penerapan pendekatan kontekstual.
Kegiatan
berikutnya peneliti sekaligus guru/praktisi dan guru mitra sebagai kolaborator
menentukan sebagai berikut:
a. Kelas
penelitian adalah kelas…
b. Waktu
penelitian adalah semester genap tahun pelajaran …
c. Materi
pokok alam penelitian adalah logika matematika dengan standar kompetensi …
Kompetensi
dasar yang harus dicapai adalah ….
1)
…
d. Membuat
scenario pembelajaran dengan memperhatikan komponen-komponen dalam pendekatan
kontekstual, yaitu relating, experiencing, applying, cooperating, transferring,
inquiry, questioning, modeling, reflection dan authentic assessment.
e. Teknik
pengumpulan data
Pengumpulan
data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik-teknik pada table 4 berikut:
Table
4
Teknik
Pengumpulan Data
No
|
Aspek
|
Teknik
|
Instrumen
|
Sumber
Data
|
Pengumpul
Data
|
1
|
Hasil
Belajar siswa:
a.
Kognitif
b.
afektif
|
Tes
Pengamatan
|
Perangkat
soal
Catatan
lapangan, pedoman observasi,
Dokumen
guru
koesioner
|
siswa
|
Guru/
peneliti
Dua
orang kolaborator
Guru/peneliti
|
2
|
Kemampuan
guru menggunakan pendekatan kontekstual
|
Pemngamatan
|
Pedoman
observasi
Catatan
Lapangan
|
Guru
|
Dua
orang kolaborator
|
3
|
a.
keaktifan dan kemandirian siswa
b.
respon siswa terhadap pendekatan
kontekstual
c.
proses pembelajaran
|
Pengamatan
Angket
Angket
Wawancara
Mendalam
Pengamatan
|
Pedoman
observasi
Catatan
Lapangan dan kuesioner
Kuesioner,
angket dan pedoman wawancara
Pedonam
observasi
Catatan
lapangan
|
Siswa
Siswa
Guru
dan siswa
|
Dua
orang kolaborator
Guru/peneliti
Guru/
peneliti
Dua
orang kolaborator
|
f. menyiapkan
LKS dan alat bantu pembelajaran yang diperlukan
g. menyiapkan
instrument penelitian antara lain perangkat soal catatan lapangan, pedoman
wawancara, dan sebagai data pendamping antara lain, pedoman observasi guru dan
siswa, koesioner untuk siswa.
2. Tahap
Perencanaan Tindakan
Sesuai dengan
karakteristik pembelajaran dengan pendekatan kontekstual maka rencana tindakan
yang dilakukan adalah:
a. Untuk
mengetahui kemampuan awal siswa diadakan pretes
b. Diadakan
penjelasan umum antara lain tujuan pembelajaran, model pembelajaran yang akan
digunakan dan penyamaan persepsi materi prasarat logika matematika
c. Membentuk
koleompok yang terdiri 4 siswa setiap kelompok
d. Pada
kegiatan relating, setelah guru melaksanakan apersepsi, siswa diberi masalah
yang berupa sioal atau masalah kontekstualyang relevan dengan pengetahuan yang
dimilki dan terkait dengan lingkungan siswa , siswa diberi kesempatan untuk
menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri dalam kelompoknya
e. Dalam
tahap experiencing, inquiry, applying, transferring, dan reflection, dibantu
dengan LKS
f. Diskusi
kelas dilakukan jika masalah tidak dapat diselesaikan dalam diskusi kelompok
g. Mengembangkan
sifat ingin tahu dengan bertanya
h. Diadakan
pemodelan antar sisewa antara siswa dengan guru dan antara siswa denga
narasumber lain jika diperlukan
i.
Melakukan refleksi di akhir pertemuan
j.
Melakukan penilaian kemampuan
pengetahuan/kognitif dan sikap /afektif siswa
0 komentar:
Posting Komentar